Setiap kali rakyat turun ke jalan dan pagar gedung pemerintahan roboh, kata yang paling cepat keluar dari mulut pejabat adalah: ini “aksi anarkis.” Sebuah kata yang dipakai untuk mengutuk, untuk menakut-nakuti, seolah-olah anarkisme identik dengan kekacauan, perusakan, dan kriminalitas.
Namun, inilah manipulasi bahasa yang sistematis: anarkisme bukanlah kriminalitas, melainkan sebuah gagasan politik, dan kritik filosofis untuk menguji sistem kekuasaan yang sudah dianggap mapan.
Secara etimologis, anarchos berarti tanpa penguasa.
Ia adalah gagasan politik yang memandang bahwa manusia bisa hidup dalam keteraturan tanpa harus tunduk pada otoritas yang menindas.
Anarkisme adalah lensa untuk menilai sistem politik lain. Ia mengkritik demokrasi liberal yang sering berubah menjadi pasar kuasa, di mana suara rakyat diperdagangkan oleh elit partai.
Anarkisme menantang kapitalisme, karena sistem itu menjadikan manusia sekadar angka dalam logika untung-rugi. Ia bahkan menguji sosialisme dan komunisme, yang dalam praktiknya sering jatuh ke dalam birokrasi otoriter.
Bagi anarkisme, ukuran sebuah sistem politik bukanlah jargon, melainkan: apakah ia sungguh menjamin kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas.
Tindakan merusak properti, membakar mobil dinas, atau memecahkan kaca kantor pemerintah kerap muncul dalam demonstrasi. Tetapi itu bukanlah definisi anarkisme. Itu ekspresi kemarahan dan tindakan kriminal biasa.
Menyamakan anarkisme dengan perusakan sama kelirunya dengan menyamakan demokrasi dengan korupsi.
Korupsi bisa terjadi dalam sistem demokrasi, tetapi itu bukan esensi demokrasi. Begitu pula, perusakan bisa terjadi dalam aksi rakyat, tetapi itu bukan inti dari anarkisme.
Negara berkepentingan menempelkan label “anarkis” pada setiap aksi ricuh.
Dengan cara itu, mereka bisa menutup mata dari substansi tuntutan rakyat.
Kata “anarkis” dijadikan stigma, senjata retorika untuk membungkam.
Padahal, jika ukuran anarkisme adalah “perusakan tatanan,” maka negara sendiri adalah pelaku terbesar, merusak keadilan dengan hukum yang bisa dibeli. merusak solidaritas sosial dengan korupsi dan privatisasi dan merusak kehidupan rakyat dengan kekerasan aparat di jalanan.
Anarkisme adalah filsafat perlawanan terhadap monopoli kekuasaan. Ia percaya masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri tanpa dominasi, tanpa struktur yang menghisap.
Karena itu, ketika rakyat melakukan protes keras, robohnya pagar gedung atau terbakar mobil dinas bukanlah esensi, melainkan simbol.
Simbol bahwa legitimasi otoritas sudah runtuh, bahwa kepercayaan rakyat sudah hancur.
Kriminalitas adalah tindakan egois demi keuntungan pribadi itu bukan anarkis
Anarkisme adalah gagasan politik, sekaligus alat ukur untuk menguji sistem politik lain yang dianggap mapan.
Karena itu, menyamakan anarkisme dengan perusakan adalah pengkhianatan terhadap makna sejatinya.
Anarkisme bukan sekadar amarah di jalan, melainkan mimpi tentang masyarakat tanpa tirani.
Dan inilah yang paling ditakuti negara: bahwa rakyat suatu hari sadar, mereka tidak membutuhkan penguasa untuk hidup dengan adil dan setara.
Oleh: Junaedi
