SURABAYA – Polemik status lahan di kawasan Gununganyar, Surabaya, kembali mencuat setelah muncul dugaan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya menggunakan lahan pribadi milik Allan Tjiptarahardja untuk objek komersialisasi berupa Rusunawa.
Bangunan Rusun bertingkat yang dikenal sebagai Rusunawa Gunung Anyar itu kini dihuni sekitar 120 kepala keluarga (KK) yang menempati unit-unit hunian.
Di pintu masuk, terpampang plang bertuliskan “Tanah Milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur” dengan keterangan luas tanah 9.438m² di bawah sertifikat hak pakai.
Namun, fakta hukum menunjukkan bahwa lahan seluas 14.210 m² tersebut merupakan milik Allan Tjiptarahardja, sesuai dengan serangkaian putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Mulai putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor. 2741 K/Pdt/2017, kemudian penetapan Eksekusi No. 62 Eks/2021/PN SBY hingga Peninjauan Kembali (PK) No. 72 PK/Pdt/2022, tanggal 24 Februari 2022 dimana pemprov jatim kalah dalam melakukan perlawanan atas penetapan eksekusi.

Kuasa hukum Allan, Dr. Drs. H.M. Sajali, S.H., M.H., M.M., Ph.D., CPCLE, CNS, yang juga Ketua PPHI Jawa Timur, menegaskan secara hukum, Allan telah berulang kali dinyatakan sebagai pemilik sah tanah tersebut.
“Bahwa tindakan Pemprov Jatim merupakan bentuk penguasaan lahan yang tidak sesuai hukum. Klien kami, Bapak Allan Tjiptarahardja, adalah pemilik sah tanah tersebut berdasarkan putusan pengadilan yang sudah inkrah. Tetapi faktanya, pemerintah daerah masih memasukkan warga ke lahan itu. Ini jelas bertentangan dengan hukum dan merugikan hak-hak klien kami,” ujar Sajali, Rabu (01/10/25)
Ia menambahkan, pihaknya menduga ada unsur komersialisasi yang dilakukan dengan memanfaatkan lahan pribadi atas nama program pemerintah.
“Negara seharusnya menjadi pelindung hak-hak warga negara, bukan justru mengambil alih lahan pribadi yang telah jelas dimenangkan secara hukum. Kami akan terus memperjuangkan hak klien kami hingga tanah tersebut benar-benar dikembalikan kepada pemilik sahnya,” tegasnya.
Sajali menilai bahwa Pemprov Jatim berpotensi melakukan komersialisasi lahan pribadi untuk kepentingan program perumahan tanpa memperhatikan status hukum. Hal ini memicu kontroversi, sebab selain bertentangan dengan putusan pengadilan, kondisi ini juga berpotensi menimbulkan kerugian bagi pemilik sah tanah dan juga dugaan praktik korupsi.
Pihak Pemprov Jatim maupun Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya belum memberikan klarifikasi soal ini@ *