Partai politik, sebagai pilar demokrasi modern, memiliki akar sejarah yang menarik dan kompleks.
Melalui analisis sejarah, kita dapat melihat bahwa elit sosial—bangsawan di Eropa dan priyayi di Indonesia—memainkan peran kunci dalam membentuk cikal bakal partai politik, meskipun pengaruh kelompok non-elit segera menyusul untuk memperluas basis gerakan politik.
Sejarah partai politik modern dimulai di Inggris pada abad ke-17, ketika faksi-faksi politik seperti Whigs dan Tories muncul sebagai respons terhadap dinamika politik pasca-Perang Saudara Inggris (1642–1651) dan Restorasi Monarki (1660).
Kedua kelompok ini, yang dianggap sebagai cikal bakal partai politik yang awalnya didominasi oleh kaum bangsawan dan elit sosial.
Tories, yang mendukung monarki kuat dan Gereja Anglikan, sebagian besar terdiri dari aristokrasi tradisional. Sementara itu, Whigs, yang mengadvokasi supremasi parlemen dan hak individu, mewakili kombinasi bangsawan progresif dan kelas menengah yang sedang berkembang, seperti pedagang dan profesional.
Pada masa itu, politik adalah ranah eksklusif elit. Hanya mereka yang memiliki tanah, kekayaan, dan pendidikan yang dapat masuk ke parlemen atau memengaruhi kebijakan.
Krisis seperti Exclusion Crisis (1679–1681), yang mempertentangkan hak suksesi monarki, memperkuat polarisasi antara Whigs dan Tories, menandai langkah awal menuju organisasi politik yang terstruktur.
Namun, Whigs mulai menarik dukungan dari kelompok non-bangsawan, menunjukkan bahwa partai politik pertama tidak sepenuhnya eksklusif bangsawan, melainkan menjadi jembatan menuju partisipasi kelas menengah.
Pada abad ke-19, Whigs dan Tories berevolusi menjadi Partai Liberal dan Partai Konservatif, dengan struktur yang lebih formal dan basis massa yang lebih luas.
Reformasi hak pilih, seperti Reform Act 1832, mempercepat transformasi ini, memungkinkan partai politik menjadi lebih inklusif.
Meski demikian, peran awal bangsawan dalam membentuk partai politik tetap tak terbantahkan, karena merekalah yang memiliki sumber daya dan pengaruh untuk menginisiasi organisasi politik.
Di Indonesia, konteks kolonial menciptakan dinamika yang berbeda namun menunjukkan pola serupa: elit sosial, dalam hal ini priyayi, memainkan peran sentral dalam kelahiran organisasi politik awal.
Priyayi, yang terdiri dari bangsawan lokal, pegawai kolonial, dan intelektual terpelajar, memiliki akses ke pendidikan Barat (seperti HBS atau STOVIA) dan posisi administratif, menjadikan mereka kelompok yang paling mampu mengartikulasikan aspirasi nasional.
Budi Utomo (1908), organisasi yang sering dianggap sebagai pelopor gerakan nasional Indonesia, adalah contoh nyata dominasi priyayi. Didirikan oleh tokoh seperti Wahidin Sudirohusodo dan mahasiswa STOVIA, Budi Utomo awalnya berfokus pada kemajuan budaya dan pendidikan bagi masyarakat Jawa, dengan anggota utama dari kalangan priyayi terpelajar.
Meskipun lebih merupakan organisasi sosial-budaya, Budi Utomo meletakkan dasar bagi kesadaran politik nasional.
Indische Partij (1912), yang lebih eksplisit berorientasi politik, juga dipimpin oleh tokoh-tokoh priyayi, seperti Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yang berasal dari keluarga bangsawan Yogyakarta, dan Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang dokter terpelajar.
Organisasi ini secara terang-terangan menentang kolonialisme Belanda dan menyerukan persatuan antara pribumi, Indo-Eropa, dan Tionghoa, menunjukkan visi progresif yang lahir dari kalangan priyayi terdidik.
Namun, tidak semua organisasi politik awal di Indonesia sepenuhnya didominasi priyayi. Sarekat Islam (berawal sebagai Sarekat Dagang Islam pada 1905, resmi menjadi SI pada 1912) menarik dukungan dari pedagang Muslim dan kelas menengah, bukan hanya priyayi.
Tokoh seperti Tirto Adhi Soerjo, yang memiliki latar belakang priyayi tetapi juga aktif sebagai jurnalis dan pengusaha, menunjukkan bahwa gerakan politik mulai melibatkan kelompok di luar elit tradisional.
SI menjadi organisasi massa pertama di Indonesia, sebuah transisi dari dominasi priyayi menuju gerakan yang lebih inklusif.
Baik di Eropa maupun Indonesia, partai politik atau organisasi politik awal lahir dari kalangan elit—bangsawan di Inggris dan priyayi di Indonesia— karena mereka memiliki keunggulan dalam pendidikan, sumber daya, dan akses politik.
Di Inggris, bangsawan mengendalikan parlemen dan memanfaatkan jaringan sosial mereka untuk membentuk faksi politik. Di Indonesia, priyayi, dengan pendidikan Barat dan posisi dalam struktur kolonial, menjadi pelopor kesadaran nasional dan organisasi politik.
Namun, dominasi elit ini tidak bertahan lama. Di Inggris, kelas menengah, seperti pedagang dan profesional, mulai memengaruhi Whigs, sementara di Indonesia, kelompok seperti pedagang Muslim dan kelas menengah memperluas basis Sarekat Islam.
Meskipun partai politik pertama lahir dari elit, keberlanjutan dan perkembangan mereka bergantung pada kemampuan untuk menarik dukungan massa. Faktor seperti reformasi hak pilih di Eropa dan semangat anti-kolonialisme di Indonesia mempercepat transisi ini.
Kelahiran partai politik, baik di Eropa maupun Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari peran kaum bangsawan dan priyayi. Mereka adalah katalis yang memulai organisasi politik, berkat keunggulan sosial, ekonomi, dan intelektual mereka.
Meski demikian sejarah juga menunjukkan bahwa partai politik hanya dapat bertahan dan relevan jika mampu merangkul kelompok di luar elit, seperti kelas menengah dan massa rakyat.
Di Indonesia, peran priyayi dalam Budi Utomo dan Indische Partij menjadi fondasi gerakan nasional, tetapi keberhasilan Sarekat Islam menunjukkan bahwa masa depan politik terletak pada inklusivitas.
Kaum elit sering kali menjadi pelopor perubahan, tetapi kekuatan sejati partai politik terletak pada kemampuannya untuk mewakili aspirasi rakyat secara luas. Sejarah partai politik adalah cerminan dari dinamika antara kepemimpinan elit dan partisipasi massa—sebuah keseimbangan yang terus relevan hingga hari ini.@ *