Di tengah gelombang demonstrasi yang melanda sejak akhir Agustus—dimulai dari Jakarta dan meluas ke 32 provinsi dengan puluhan korban dan ribuan penangkapan, muncul sikap berbeda dan terkesan bertentangan:
Sejumlah aksi dieleminasi oleh desakan “situasi tidak kondusif,” sementara yang lain tetap berjalan, membawa tuntutan luas dan kompleks.
Salah satunya adalah pembatalan Aksi Rakyat Jatim Menggugat oleh penggagasnya, Muhammad Soleh.
Aksi tersebut rencananya digelar pada 3 September 2025 dengan tuntutan berat ke Gubernur—namun dibatalkan dengan alasan situasi Surabaya yang rawan anarkisme dan kerusuhan.
Fenomena ini mencerminkan cara selektif dalam menerjemahkan “kondusifitas” sebagai alat untuk meredam tuntutan yang dianggap terlalu radikal atau sistemik.
Berbanding terbalik, demonstrasi yang lebih besar dan lebih kompleks seperti Indonesia Gelap—dengan belasan tuntutan mulai dari pendidikan gratis, reforma agraria, hingga militerisasi sipil—justru mendapat perhatian luas.
Aksi ini memicu respons nasional, dengan aparat keamanan dan pemerintah bereaksi—membatasi, tapi tidak dibatalkan.
Tidak hanya itu, protes di Pati—menuntut penghentian kenaikan pajak tanah 250%, pengunduran bupati, dan beberapa tuntutan lokal lainnya—mencapai massa hingga 100.000 orang dan mendapat respons DPR lokal.
Ini menunjukkan bahwa ketika massa bersatu dan tuntutannya diterjemahkan lewat mekanisme politik (misalnya DPRD), maka ruang public tetap ada, berbeda nasibnya dengan aksi rakyat yang dianggap terlalu “berani.”
Laporan kekerasan dalam protes terkini semakin menumpuk: gas air mata dan peluru karet ditembakkan di sekitar kampus Bandung, sejumlah demonstran terluka, mahasiswa dikriminalisasi, serta desakan internasional terhadap praktik represif aparat terus muncul.
Pemerintah justru memilih menanggapi tuntutan politis – seperti penghapusan tunjangan elit pimpinan– yang digadang lebih “aman” karena tidak menuntut kejatuhan rezim.
Alih-alih memfasilitasi dialog, pemerintah tampak meredam pintu aspirasi. Kerusuhan, perusakan adalah ulah oknum dan tidak bisa dihantam rata kepada seluruh peserta aksi.
Ini menjadi preseden berbahaya: kritik struktural terhadap ketimpangan dan korupsi hanya ditoleransi jika dikelola “aman,” sementara aksi rakyat yang menyentuh akar kekuasaan langsung diredam dengan alasan stabilitas.@
