Ada yang ganjil dalam lanskap politik hari ini. Setiap kali seorang pejabat melontarkan komentar sembrono—baik itu soal kenaikan gaji pejabat, wacana kebijakan, atau keluhan absurd tentang fasilitas negara—pernyataan itu tak sekadar lewat di layar media sosial. Ia langsung meledak, diviralkan, sedikit digoreng, lalu menyulut amarah kolektif yang menjelma gelombang demonstrasi.
Fenomena ini bukan sekadar reaksi spontan. Ia tampak seperti orkestra—dibalik sikap proteksi oknum pejabat akan kritik rakyat.
Kemudian tangan-tangan tak terlihat menyulut, mengatur ritme, lalu mengarahkan amarah itu ke satu panggung simbolik.
Jean-Jacques Rousseau pernah menulis, “Manusia lahir bebas, namun di mana-mana ia terbelenggu.” Hari ini, belenggu itu bernama algoritma.
Mesin tak bernyawa ini tahu cara merawat luka sosial, menyalakan dendam, dan mengumpulkannya dalam satu kata kunci: viral.
Setiap komentar pejabat—misalnya wacana kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR tahun 2025 di tengah publik yang dicekik harga kebutuhan dasar—langsung meledak menjadi bahan bakar demonstrasi.
Narasi itu ditiupkan berulang-ulang, seakan-akan negara sedang berpesta pora di atas penderitaan rakyat. Disisi lain, sikap pongah beberapa oknum pejabat memperlihatkan karakter anti kritik.
Tapi yang lebih penting dari substansinya adalah “ritualnya”: algoritma memastikan emosi publik dikumpulkan, disalurkan, dan diarahkan pada titik tertentu.
Inilah demokrasi yang telah berubah bentuk: bukan lagi perdebatan akal sehat, melainkan pertarungan viralitas.
Pola ini menarasikan ahwa institusi negara bukan lagi sekadar representasi, melainkan panggung sandiwara kekuasaan.
DPR dijadikan simbol yang harus dihantam.
Contoh nyata: demo besar-besaran Agustus 2025 terkait wacana kenaikan gaji DPR dan revisi UU Pemilu.
Media sosial penuh dengan potongan video pejabat yang berstatment pongah, memicu gelombang marah.
Tapi setelah ribuan orang memenuhi jalan, hasil konkret apa yang terjadi?
Sistem tetap berdiri, hanya wajahnya yang sedikit tergores.
Kita bisa menyebut fenomena ini sebagai kesadaran palsu. Rakyat digiring untuk percaya bahwa kemarahan mereka diarahkan pada akar masalah, padahal bisa jadi itu hanya gejala permukaan yang sengaja diperbesar.
DPR dijadikan target permanen. Sementara jaringan oligarki, konglomerasi bisnis-politik, dan teknokrat yang mengendalikan kebijakan tetap tak tersentuh. Rakyat marah, sistem selamat.
Narasinya mengerucut, DPR bukan lagi sebagai “rumah rakyat” jika faktanya ia hanya panggung elit partai.
Kita harus belajar menciptakan mekanisme langsung—ruang deliberasi, referendum digital, atau bentuk demokrasi partisipatif baru yang tidak bisa dimonopoli algoritma.
Sebab bila tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus: – seorang pejabat bicara sembarangan → viral → demonstrasi → kemudian reda → dan sistem tetap berjalan.
Demonstrasi hari ini sering kali berhenti di level katarsis—melepaskan emosi, tanpa benar-benar menghancurkan akar permasalahan.
Maka mungkin sudah saatnya amarah kolektif tidak lagi diarahkan sekadar ke pintu DPR, melainkan ke seluruh struktur yang menopang ilusi demokrasi representatif.
Hal itu bisa terealisasi, ketika rakyat berani mengorganisasi diri di luar panggung kekuasaan resmi, demonstrasi bukan lagi tontonan, melainkan gerakan emansipasi kolektif. @
