Sang: Api Pertama
Ratusan orang, pengemudi ojol, buruh, mahasiswa, dan wajah-wajah tanpa nama datang dengan kemarahan.
Depan Gedung Grahadi jadi panggung pertama. Pagar baja yang tegak berdiri runtuh. Puluhan motor terbakar, asap hitam membumbung, melawan birunya langit.
Kota yang terbiasa menutup mata kini dipaksa menatap bara.
Balasan
Aparat tiba — seragam hitam, perisai, senjata kimia. Mereka menembakkan gas air mata, menekan tombol water cannon, menyembur siapa pun yang berani berdiri.
Batu, petasan, molotov melayang balas dendam. Di tengah kerumunan, Amar, seorang jurnalis jatuh, matanya berdarah oleh pecahan dan gas.
Seakan kota ingin memberi tanda: bahkan mereka yang mencoba menyaksikan pun tak selamat.
Hukum? Netralitas? Semua jadi Omong kosong.
Bahasa Jalanan aksi massa keluar menghakimi apapun yang mencoba membendung.
Malam: Jalanan Menjadi Medan
Ketika senja turun, api justru meninggi. Massa menyebar ke Gubernur Suryo, jalan Pemuda, Yos Sudarso, hingga Basuki Rahmat.
Surabaya yang biasanya sibuk seolah berubah jadi medan perang kota.
Pos polisi di Taman Bungkul dibakar—besi meleleh, kaca pecah, seragam hangus. Kantor polsek Tegal Sari tak luput jadi sasaran amuk.
Di Tunjungan Plaza, toko-toko menutup cepat, seakan kapital pun gentar pada energi liar massa.
Trotoar dan taman penuh serpihan, sisa bentrokan yang tak bisa dibersihkan hanya dengan sapu dinas kebersihan.
Bau gas air mata bercampur dengan asap ban dan motor, menjelma jadi parfum malam Surabaya.
Pasca Aksi: Kota yang Luka
Menjelang tengah malam, tubuh-tubuh lelah tapi tak menyerah. Polisi kembali menguasai jalan,
Kota meninggalkan bekas: jalanan retak, pagar gosong, pos terbakar.
Surabaya menjadi cermin: bahwa di bawah permukaan kota modern selalu ada bara yang menunggu disulut.
