Impor Beras Di Stop, Produksi Naik, tapi Petani Dan Masyarakat Tetap Terjepit

Catatan Redaksi

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Keputusan pemerintah untuk menghentikan impor beras pada pertengahan 2025 menimbulkan sejumlah konsekuensi berlapis. 

Pemerintah menklaim bahwa produksi beras terus meningkat, dengan data dari BPS menunjukkan produksi 21,76 juta ton sepanjang Januari–Juli 2025

Di satu sisi, penghentian impor dilakukan dengan alasan menjaga kedaulatan pangan dan memberi ruang bagi produksi dalam negeri. Namun di sisi lain, ada dampak signifikan terhadap penerimaan negara, harga pasar, hingga kesejahteraan petani.

Pada tahun 2025, penerimaan Bea Masuk dari impor beras Indonesia mengalami penurunan akibat penghentian kuota impor beras oleh pemerintah.

Pada kuartal pertama 2025, penerimaan Bea Masuk dari padi dan beras tercatat hanya sebesar Rp51,2 miliar, sementara pada periode yang sama di tahun 2024 mencapai Rp651 miliar, mencatatkan penurunan hingga 92,1%.

Akibatnya pemerintah mengunakan segala cara termasuk menggenjot sektor pajak secara serampangan kepada masyarakat dan pelaku bisnis.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah yang terus tertekan terhadap dolar Amerika justru menguntungkan eksportir karena hasil ekspor lebih tinggi saat dikonversi ke rupiah. Namun, kondisi ini merugikan masyarakat luas.

Daya beli rakyat semakin menurun akibat naiknya harga kebutuhan pokok yang dipicu pelemahan rupiah.

Penghentian impor seharusnya menjadi kabar baik bagi petani karena permintaan gabah meningkat. Namun realitanya, harga gabah yang diterima petani masih stagnan dan jauh dari ideal.

Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani hanya berkisar Rp6.000–6.500 per kilogram, jauh dari harga yang layak untuk menutup biaya produksi. Akibatnya, kesejahteraan petani tidak mengalami perbaikan.

Dengan biaya produksi yang semakin tinggi mulai pupuk, sewa lahan, hingga tenaga kerja – margin keuntungan petani semakin tipis.

Padahal, dengan harga beras di pasar yang tembus Rp 15.000 per kg, selisih margin yang besar justru lebih banyak dinikmati oleh rantai distribusi, bukan petani.

Artinya, petani tetap berada pada posisi yang lemah, dengan pendapatan yang tidak sebanding dengan kenaikan harga beras di tingkat konsumen.

Hal ini semakin ironis karena salah satu alasan penghentian impor adalah untuk melindungi petani dalam negeri.

Dengan kata lain, harga beras ditingkat konsumen tinggi sementara Petani juga tidak diuntungkan. Hal ini makin memperburuk situasi ekonomi di tingkat masyarakat.*

Get real time updates directly on you device, subscribe now.