Judi online menjadi epidemi sosial digital yang kian meresahkan. Meski pemerintah mengklaim perang total terhadapnya, realita di lapangan menunjukkan paradoks.
Situs-situs terus hidup, uang terus mengalir, dan pelakunya makin berani. Sementara aparat mengejar operator dan pemilik server, satu aktor krusial luput dari sorotan serius yakni perbankan.
Setiap transaksi judi online—baik deposit maupun penarikan—selalu melalui bank. Entah via transfer manual, QRIS, hingga virtual account (VA), semuanya berjalan lancar karena ada infrastruktur bank di belakangnya.
Anehnya, nomor tujuan transfer di platform seperti Binomo, Judol dan sejenisnya selalu berubah-ubah.
Hal ini menunjukkan pemanfaatan teknologi virtual account API secara dinamis, yang seharusnya hanya bisa diakses oleh institusi legal dan teregulasi.
Virtual account (VA) dibuat dengan persetujuan bank, menggunakan Application Programming Interface (API) yang seharusnya dipantau. Namun, bagaimana bisa akun-akun VA ini digunakan ribuan kali oleh pengguna yang berbeda, tanpa deteksi aktivitas mencurigakan oleh sistem bank?
Bagaimana bisa sebuah rekening menerima ribuan transaksi per hari tanpa di-flag oleh sistem anti-money laundering?
PPATK bergantung pada laporan dari bank untuk mendeteksi transaksi mencurigakan. Tetapi yang lebih rajin dilaporkan justru rekening dorman—rekening yang tak aktif—karena lebih mudah dan tidak menimbulkan konflik kepentingan.
Sementara itu, rekening dengan aktivitas abnormal atau VA dengan volume mencurigakan justru tak segera dibekukan, bahkan terus aktif berbulan-bulan.
Ada dugaan wajar bahwa fee transaksi menjadi alasan bank melonggarkan aktivitas judi online.
Setiap transaksi, apalagi dalam jumlah besar dan masif, menghasilkan pendapatan bagi bank. Maka tak heran, penindakan terhadap rekening “panas” terasa lambat. Toh sampai saat Ini situs judi online tetap eksis. Ini adalah konflik antara komersialisasi perbankan dan etika hukum.
Pemberantasan judi online tidak akan berhasil jika perbankan masih memainkan peran ambigu: satu kaki di sisi regulasi, kaki lainnya di sisi komersial.
Tanpa keseriusan bank dalam memutus jalur keuangan platform ilegal, semua tindakan hukum hanya kosmetik.
Negara perlu menekan perbankan dengan regulasi tegas, transparansi API VA, audit internal, dan sanksi keras terhadap bank yang membiarkan sistemnya digunakan untuk kejahatan digital.
Di era digital, uang lebih cepat dari hukum. Jika gerbang transaksi—yakni perbankan—tidak ditutup rapat, maka apapun jenis kejahatannya akan terus menemukan jalannya. Judi online hanya satu dari banyaknya contoh.