Setiap penyelenggara negara di diwajibkan melaporkan harta kekayaannya melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Kewajiban ini sejak awal dimaksudkan untuk menciptakan transparansi, akuntabilitas, serta mencegah praktik korupsi. Publik pun diharapkan bisa ikut mengawasi agar pejabat tidak hidup melebihi kewajaran pendapatan.
Namun, setelah lebih dari dua dekade diberlakukan, efektivitas LHKPN tidak efektif. Korupsi tetap marak, sementara LHKPN cenderung hanya berfungsi sebagai ritual administratif ketimbang instrumen substantif.
Masalah paling serius adalah tidak adanya sanksi tegas terhadap laporan palsu atau manipulatif.
Hingga kini, pejabat yang melaporkan LHKPN dengan tidak benar tidak bisa langsung dijerat hukum pidana. Konsekuensi terburuk hanyalah sanksi administratif: teguran, peringatan, atau konsekuensi etis dari lembaga asal. Padahal, di banyak kasus, laporan palsu justru bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik korupsi.
Dengan sistem yang lemah ini, seorang pejabat bisa dengan mudah menyembunyikan aset, baik melalui nama keluarga, nominee, perusahaan cangkang, ataupun menaruh kekayaan dalam bentuk aset digital yang belum sepenuhnya terpantau.
Hasilnya, LHKPN lebih sering menjadi dokumen formalitas. Pejabat melaporkan apa adanya, masyarakat membaca sekilas, dan semuanya seakan selesai. Padahal, LHKPN bisa jadi “lampu merah” yang memberi tanda bahaya sebelum korupsi terjadi.
Fakta bahwa banyak pejabat yang rutin melaporkan LHKPN tetap tertangkap tangan KPK adalah bukti paling nyata ketidakberdayaan instrumen ini.
- Setya Novanto (mantan Ketua DPR RI) rutin melaporkan LHKPN, tetapi tetap terbukti menerima aliran dana korupsi proyek e-KTP.
- Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten) tercatat menyerahkan LHKPN secara berkala, namun kasus suap sengketa Pilkada Serang membuktikan laporan kekayaan tidak mencegah tindak pidana.
- Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS) juga rutin lapor, tetapi akhirnya terjerat kasus suap impor daging sapi.
Kasus-kasus ini menunjukkan, kepatuhan administratif tidak sama dengan integritas.
LHKPN gagal berfungsi sebagai filter moral maupun sebagai instrumen pencegahan.
Kelemahan regulasi. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan turunannya memang mewajibkan pejabat melapor, tapi tidak mengatur sanksi pidana untuk laporan palsu.
Artinya, jika seorang pejabat melaporkan bahwa ia hanya punya rumah sederhana dan satu mobil, padahal sebenarnya memiliki aset puluhan miliar atas nama kerabat, hukum tidak bisa menyentuhnya hanya karena laporan itu palsu.
Berbeda dengan negara lain. Di Filipina, pejabat publik wajib menyerahkan Statement of Assets, Liabilities, and Net Worth (SALN). Manipulasi data bisa diganjar pidana penjara dan diskualifikasi dari jabatan publik.
Sementara di Amerika Serikat, pejabat federal yang memberikan laporan kekayaan palsu dapat dijerat hukum federal dengan ancaman denda hingga ratusan ribu dolar dan hukuman penjara.
Indonesia tertinggal jauh dalam hal penegakan. Sebab, LHKPN hanya dekorasi birokrasi.
