SURABAYA – Sebidang tanah warisan yang semula hanya sekitar 200 meter persegi tiba-tiba berubah menjadi 34.365 meter persegi—setara 3,4 hektare. Perubahan fantastis ini bukan hasil proyek properti besar, melainkan hasil administrasi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya pada era 1998.
Dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Nomor 94 PK/TUN/2014 ditemukan jejak kerusakan prosedur administratif, diantaranya pengukuran tanpa dasar, hingga penerbitan sertifikat atas nama orang yang telah meninggal dunia sejak tahun 1975.
Dari Petok D Nomor 102 Luas 200 m² Jadi 34.365 m²
Tanah tersebut tercatat dalam Petok D No. 102 di wilayah Gununganyar Tambak dengan luas hanya sekitar 200 meter persegi. Namun, ketika dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 285 pada 1997–1998, luasnya tiba-tiba melonjak menjadi 34.365 meter persegi hingga terjadi tumpang tindih dengan SHM Nomor 12 milik Allan Tjipta Rahardja.
Masalahnya, pengukuran BPN dilakukan sebelum surat keterangan lurah diterbitkan. Dokumen pada catatan SHM 285 menunjukkan bahwa juru ukur BPN turun ke lapangan pada 3 Juni 1997, sedangkan surat keterangan dari lurah baru keluar pada 30 Juni 1997.
Tidak hanya itu, Persil Petok D 102 di buku induk letter C kelurahan Gunung Anyar Tambak tercatat pada persil 43 dt III namun di SHM Nomor 285 ditulis Persil 3 Dt II. Padahal persil ini seharusnya dicatatkan di SHM Nomor 12. Milik Allan Tjipta Rahardja sesuai data buku induk dan juga surat keterangan lurah Gunung Anyar Tambak.
Kepala Seksi Pengendalian dan penanganan sengketa Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya II, Gufron sewaktu dikonfirmasi mengatakan supaya Surabaya Post Menanyakan langsung kepada kelurahan Gunung Anyar Tambak sebab produk BPN berupa SHM alur permohonan peningkatan hak berkas dan dokumen awal adalah melalui kelurahan.
“Silahkan konfirmasi ke pihak kelurahan setempat karena berita ini terkait petok D dan persil serta luas, dimana produk BPN berupa sertipikat berasal dari hal tersebut”Kata Gufron, Kamis siang (6-11-2025).
Sementara, Kuasa Allan Tjipta Rahardja menerangkan saat ini pihaknya telah mengajukan permohonan koreksi administrasi di BPN Kota Surabaya II tentang kesalahan administrati berat yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional.
“Padahal, Pasal 16 ayat (2) PP 24/1997 dengan jelas menyebutkan bahwa pengukuran hanya dapat dilakukan setelah seluruh dokumen administrasi lengkap. Artinya, prosedur terbalik ini membuka ruang manipulasi batas dan penambahan luas secara tidak sah”.Ujar Kuasa Allan Tjipta Rahardja, Kamis 6/11/2025.
Pemilik Meninggal Dunia, Sertifikat Tetap Terbit
Kejanggalan semakin mencolok ketika diketahui bahwa pemilik yang tercantum dalam SHM, Djaenah binti Dimjati, telah meninggal dunia sejak tahun 1975. Meski demikian, SHM tetap diterbitkan atas namanya pada 14 November 1998, 23 tahun setelah wafat.
Tak berhenti di situ, warisan berikutnya tercatat atas nama Dimyati, yang justru meninggal pada tahun 1995—tiga tahun sebelum sertifikat diterbitkan.
“Baik konversi (Nama Pemegang hak awal) maupun sebab perubahan peralihan hak, SHM 285 dicatat atas orang orang yang telah meninggal dunia, “imbuh kuasa Allan Tjipta Rahardja.
Kedua sertifikat yang saat ini berada di zona administratif BPN Surabaya II ini menjadi sengketa panjang yang sempat dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya dan bahkan telah sampai pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), namun gugatan ditolak karena dianggap telah kadaluarsa soal waktu pengajuan, bukan karena substansi pokok perkara kerusakan administratif Badan Pertanahan Nasional.
Gufron memastikan bahwa pihak BPN Surabaya II saat ini tengah melakukan penelitian secara komperhensif atas penerbitan SHM Nomor 285.
“Kami sementara ini sedang melakukan penelitian secara komprehensif terhadap penerbitan, peralihan dan fisik terhadap kedua sertipikat tersebut,” Kata Gufron@ fq
