SURABAYA – Sebuah SHM bermasalah mencuat di Gunung Anyar Tambak. SHM No. 285 seluas 34.365 m² tercatat atas nama Djaenah B. Dimjati, yang meninggal pada 1975.
Dari hasil rekap visual SHM Nomor 285 ditemukan beberapa temuan kerusakan awal, diantaranya;
Delay fatal:
SHM diterbitkan 1998 atas nama Djaenah B Dimjati sebab konversi, 23 tahun setelah kematian Djaenah.
Warisan lanjut ke Dimyati, meninggal 1995, tapi mutasi tercatat 1998.
Konversi awal dan perubahan pemegang hak dicatatkan orang orang yang sudah meninggal dunia.
Urutan prosedur terbalik
Keterangan Gambar situasi/Pengukuran lahan tertulis 3 Juni 1997 dilakukan sebelum keluarnya surat keterangan lurah yakni 30 Juni 1997.
Basis administrasi diduga cacat sejak awal, terjadi overlap persil karena adanya oknum mafia tanah di internal,
Persil ganda & overlap:
SHM 285 dan SHM 12 saling tumpang tindih, menciptakan potensi sengketa berkepanjangan.
- SHM No. 12: Seharusnya persil 3 Dt II (sesuai Petok D No. 49), tapi dicatat persil 12 Dt III → Salah kelas/distrik (Dt II jadi Dt III).
- SHM No. 285: Seharusnya persil 43 Dt III (sesuai Petok D 102), tapi mencatat persil 3 Dt II → Overlap/mencaplok persil milik SHM 12. Ini mebuat SHM saling “tumpang tindih” di peta BPN, meski fisik tanah sama.
Pada 2001, peralihan ke H. Musofaini dilakukan melalui Akta Jual Beli PPAT.
Hal yang menimbulkan pertanyaan kritis: bagaimana SHM produk Kantor Pertanahan bisa semrawut secara adminstratif dan tidak ada itikad untuk nelakukan perbaikan administratif.
Sementara Upaya rekonvensi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) gagal karena klaim kadaluarsa gugatan ditingkat Peninjauan Kembali (PK) bukan karena pokok perkara tentang rusaknya proses administratif SHM.
Pola ini konsisten dengan modus mafia tanah; konversi lambat, waris fiktif, SHM ganda, Kadaluarsanya gugatan dan keterlibatan oknum BPN.
Dampaknya Lahan strategis dikuasai kroni dengan melibatkan preman. Tujuannya, supaya nantinya transaksi dapat berjalan lancar meski dokumen rusak dan semrawut.
Pemilik SHM Nomor 12 melalui kuasanya menuntutl supaya BPN Surabaya II segera keluarkan SK koreksi dan mendesak Aparat penegak hukum telusuri potensi pidana pemalsuan (KUHP Pasal 263).
Selain itu, pemilik SHM Nomor 12 meminta kepastian hukum, bukan SHM “hantu” yang lindungi mafia tanah.@ *
Artikel ini akan diperbaharui setelah mendapat keterangan kepala kantor pertanahan BPN Surabaya II
