 
											
																							Surabaya – Polemik tagihan kurang bayar pajak reklame sebesar Rp26 miliar yang dialamatkan Pemkot Surabaya kepada 97 pengusaha SPBU anggota Hiswana Migas Surabaya masih menemui jalan buntu. Untuk mencari titik terang, Komisi B DPRD Kota Surabaya mengundang tiga pakar hukum dari perguruan tinggi di Jawa Timur dalam rapat dengar pendapat, Selasa (19/8/2025).
Ketiga pakar yang hadir yakni Prof Dr Rr Herini Siti Aisyah SH MH dan Dr Sukadi SH MH dari Universitas Airlangga, serta Dr Himawan Estu Bagijo SH MH dari Universitas Wisnuwardhana Malang.
Hearing ini juga dihadiri perwakilan Hiswana Migas, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya, dan Inspektorat.
Sejak 2019 hingga 2023, para pengusaha SPBU telah melunasi kewajiban pajak reklame sesuai dengan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) resmi yang diterbitkan Bapenda. Namun, pada akhir 2023 mereka tiba-tiba menerima Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPD-KB) senilai Rp26 miliar.
Kenaikan signifikan ini dipicu perubahan metode penghitungan objek pajak oleh Pemkot tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Pihak Bapenda beralasan adanya temuan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Dr Himawan Estu menilai langkah Pemkot kurang cermat. Menurutnya, jika ada temuan audit BPK terkait kekeliruan objek pajak, Pemkot seharusnya memberikan jawaban tertulis dan mengkonsultasikannya dengan DPRD sebelum mengeluarkan SKPD-KB.
“Pajak reklame ditetapkan melalui perda bersama DPRD. Jadi mestinya ada diskusi dulu, bukan tiba-tiba muncul tagihan kurang bayar,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi tindakan Pemkot yang memasang tanda silang (X) di sejumlah SPBU. Menurutnya, langkah tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman publik, apalagi SPBU pelat merah Pertamina juga menjalankan fungsi pelayanan publik.
“Pemasangan tanda silang ini bisa menimbulkan persepsi keliru, seolah-olah SPBU bermasalah. Padahal mereka juga menjalankan tugas menyalurkan BBM bersubsidi,” tambahnya.
Sementara itu, Prof Herini menegaskan bahwa papan informasi harga di SPBU bukan objek reklame, melainkan bentuk transparansi dan keterbukaan kepada konsumen.
“Kalau dikategorikan reklame, itu keliru. Justru informasi harga adalah bagian dari perlindungan konsumen,” jelasnya.
Legal DPC Hiswana Migas Surabaya, Drs Ben D. Hadjon SH, menyambut positif pandangan para pakar hukum. Ia menilai perbedaan tafsir pajak reklame ini belum tuntas sehingga tindakan represif di lapangan, seperti pemasangan tanda silang, sebaiknya ditangguhkan.
“Selama masih ada perdebatan hukum, seharusnya tidak boleh ada tindakan faktual. Itu berpotensi menjadi sewenang-wenang,” tegasnya.
Sementara perwakilan Bapenda Surabaya, Anna, menyatakan pihaknya tetap membuka ruang relaksasi pembayaran melalui skema angsuran. “Karena ada penolakan, ya kami harus konsultasikan ke BPK,” katanya singkat.
Dari hasil hearing, mayoritas pakar hukum sepakat bahwa sengketa ini harus diselesaikan dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, demokrasi, dan efisiensi. Pemkot diminta menahan diri dari tindakan lapangan hingga ada kesepakatan bersama antara Pemkot, DPRD, dan pelaku usaha SPBU.@ *
 
			