Get real time updates directly on you device, subscribe now.
SURABAYA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, curah hujan akan normal pada tahun ini daripada tahun sebelumnya, akan tetapi musim kemarau akan dimulai lebih lambat dari biasanya di sebagian besar wilayah karena efek yang tersisa dari Pola cuaca La Nina.
Lebih dari 70 persen kepulauan akan melihat musim kemarau mulai terlambat atau tepat waktu tahun ini, antara April dan Juni, karena La Nina melemah secara bertahap, kata kepala badan cuaca Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers.
Dia mengatakan curah hujan tahun ini akan mendekati normal dibandingkan dengan tahun lalu yang lebih deras dari biasanya. “Musim kemarau diperkirakan mencapai puncaknya pada Agustus,” imbuhnya.
Tahun 2022 ini diperkirakan akan lebih kering dari tahun lalu, BMKG telah memperingatkan pihak berwenang setempat tentang potensi kebakaran hutan, kata wakil kepala BMKG, Urip Haryoko.
Dia menambahkan bahwa beberapa titik api telah terdeteksi di provinsi-provinsi seperti Aceh, Riau, Selatan dan Utara. Sumatera, dan Kalimantan Barat.
Sebagai rumah bagi hutan hujan terbesar di luar Amazon dan Kongo, Indonesia sering mengalami kebakaran hutan terutama karena pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Pada tahun 2019, kebakaran menyebabkan kabut asap menyelimuti beberapa wilayah, hal ini mendorong 900.000 orang melaporkan penyakit pernapasan dan kerusakan materiil senilai US$5,2 miliar (S$7,05 miliar), menurut Bank Dunia.
“Keterlambatan musim kemarau dan curah hujan normal dapat berdampak baik pada komoditas pangan dan perkebunan,” kata Haryoko
“Namun, kita harus siap dengan potensi hama yang tumbuh subur dalam kondisi seperti itu,” ujarnya.
Curah hujan deras tahun lalu menyebabkan gangguan dalam operasi pertambangan di Indonesia dan cuaca juga berperan dalam penurunan produksi minyak sawit tahun lalu, kata kelompok industri.**