Fenomena Umrah Mandiri Tren Baru yang Butuh Pengawasan Cerdas

Kasus gagal berangkat, penipuan daring, hingga ketidakpastian layanan menjadi peringatan penting bahwa efisiensi tanpa tata kelola bisa berujung pada risiko mahal

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

SURABAYA (SurabayaPostNews) – Pemerintah dan DPR telah melegalkan umroh secara mandiri dalam UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh. Dengan kebijakan tersebut membuat tren umrah mandiri semakin marak di tengah kemudahan akses digital dan promosi tiket murah yang menggoda.

Banyak calon jamaah kini memilih mengatur sendiri perjalanan ibadahnya tanpa melalui biro resmi, dengan alasan lebih hemat, fleksibel, dan efisien. Namun di balik tren tersebut, muncul pertanyaan besar soal tata kelola dan keamanan digital dalam ibadah umrah.

Kasus gagal berangkat, penipuan daring, hingga ketidakpastian layanan menjadi peringatan penting bahwa efisiensi tanpa tata kelola bisa berujung pada risiko mahal.

“Murah belum tentu efisien, dan efisien belum tentu aman kalau tidak berlandaskan sistem yang tertata,” ujar Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, saat ditemui di kampus Untag, Jumat (31/10).

Menurutnya, fenomena umrah mandiri memiliki kemiripan dengan pengelolaan organisasi modern. Dalam setiap sistem, efisiensi harus berjalan seiring dengan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan berlapis.

“Di kampus, setiap efisiensi anggaran selalu disertai analisis risiko dan mekanisme akuntabilitas. Prinsip yang sama seharusnya berlaku ketika masyarakat mengambil keputusan yang menyangkut keselamatan dirinya,” jelas Supangat.

Transformasi digital telah membuka ruang bagi masyarakat untuk mengatur perjalanan ibadah secara mandiri. Platform daring kini menawarkan paket tiket, hotel, hingga visa dengan sistem pembayaran instan. Namun, menurut Supangat, kemudahan digital harus diimbangi literasi digital dan tata kelola yang kuat.

“Masyarakat perlu paham risiko digital, seperti keamanan data, legalitas penyedia jasa, dan validitas kontrak elektronik. Jangan hanya tergoda harga murah di platform yang belum jelas kredibilitasnya,” tegasnya.

Ia menilai, negara dan lembaga terkait tetap memiliki tanggung jawab dalam menjaga integritas layanan umrah digital. Regulasi dan pengawasan berbasis teknologi perlu dikembangkan untuk meminimalkan potensi kerugian jamaah.

Kemandirian dalam mengelola perjalanan ibadah memang patut diapresiasi sebagai bagian dari kemajuan literasi digital masyarakat. Namun, Supangat menegaskan bahwa kemandirian tanpa sistem justru bisa kehilangan arah.

“Seperti halnya di universitas, setiap unit punya otonomi tapi tetap dalam koridor tata kelola yang jelas. Kemandirian itu penting, tapi harus disertai tanggung jawab dan pengawasan,” ujarnya.

Ia menambahkan, masyarakat perlu memperkuat kecakapan digital dan kesadaran hukum agar mampu menilai kredibilitas platform perjalanan umrah.

Supangat menekankan, efisiensi sejati bukan hanya soal biaya murah, tetapi keseimbangan antara biaya, manfaat, dan keamanan.

“Dalam dunia digital yang serba cepat, tata kelola menjadi pagar moral agar efisiensi tidak berubah menjadi ilusi,” pungkasnya.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.