Indonesia: Eksportir Gas yang Juga Mengimpor, Apa Alasannya?

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Jakarta, – Indonesia, negara yang pernah menyandang gelar sebagai pengekspor gas alam cair (LNG) terbesar di dunia, kini menghadapi realitas unik, yakni menjadi eksportir sekaligus importir gas.

 

Meskipun memiliki cadangan gas alam melimpah, kebutuhan domestik yang meningkat dan tantangan distribusi mendorong Indonesia untuk mengimpor LNG dari negara lain, seperti Qatar, Australia, dan Malaysia.

 

Menurut data historis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia mengekspor sekitar 19 juta ton LNG pada 2022, terutama ke negara-negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan China.

 

Namun, di saat yang sama, Indonesia juga mengimpor sekitar 3-4 juta ton LNG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, khususnya di pulau Jawa yang menjadi pusat industri dan pembangkit listrik.

 

Penurunan Produksi dan Kebutuhan Domestik

Penurunan produksi dari lapangan gas tua, seperti Mahakam di Kalimantan Timur dan Arun di Aceh, menjadi salah satu penyebab utama. Lapangan Mahakam, yang pernah menghasilkan 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) pada puncaknya, kini hanya mampu memproduksi 500-600 MMSCFD.

 

Sementara itu, permintaan gas domestik terus melonjak seiring kebutuhan listrik dan industri yang tumbuh pesat. Prioritas pemerintah saat ini adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Akan tetapi, distribusi gas dari wilayah timur seperti Papua dan Kalimantan ke Jawa masih terkendala infrastruktur. 

 

Untuk mengatasi hal ini, Indonesia membangun terminal regasifikasi seperti di Arun dan Lampung, yang mengubah LNG impor menjadi gas siap pakai.

 

Paradoks Ekonomi dan Logistik

Meski terdengar kontradiktif, kondisi ini memiliki logika ekonomi. Mengekspor LNG ke pasar internasional, seperti Jepang yang membayar dengan harga premium, mendatangkan devisa negara.

 

Di sisi lain, mengimpor LNG dari negara tetangga seperti Malaysia sering kali lebih murah ketimbang membangun pipa gas antar pulau yang membutuhkan investasi besar.

 

Singapura, misalnya, menerima pasokan gas melalui pipa dari Sumatera sebanyak 790 MMSCFD setiap hari, sementara Indonesia mengimpor LNG untuk wilayah Jawa Barat.  

 

Masa Depan Pasokan Gas

 

Pemerintah optimistis ketergantungan pada impor bisa berkurang dengan pengembangan proyek baru, seperti Tangguh Train 3 di Papua Barat dan Blok Masela di Maluku. Namun, proyek-proyek ini diperkirakan beroperasi penuh pada akhir dekade ini. 

 

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami paradoks ini. Uni Emirat Arab, misalnya, juga mengekspor minyak sambil mengimpor untuk kebutuhan spesifik. Bagi Indonesia, tantangan ke depan adalah mengintegrasikan infrastruktur gas nasional agar produksi lokal dapat mencukupi kebutuhan domestik tanpa mengorbankan peran sebagai pemasok gas di Asia.

 

Pemain Strategis di Asia

 

Meski mengimpor, Indonesia tetap menjadi eksportir bersih dan memainkan peran strategis di pasar gas Asia. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, dan Singapura termasuk di antara lima negara yang paling bergantung pada pasokan gas Indonesia.

 

Dengan cadangan terbukti sekitar 43 triliun kaki kubik (TCF), Indonesia masih memiliki potensi besar—jika tantangan logistik dan produksi dapat diatasi.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.