Mengapa Orang Terkaya di Indonesia Mayoritas Memanfaatkan Sumber Daya Alam?

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

SurabayaPostNews — Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Kita memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, mulai dari minyak bumi, gas alam, batubara, hingga kelapa sawit dan mineral seperti nikel dan tembaga. Tidak mengherankan jika mayoritas orang terkaya di Indonesia membangun kekayaan mereka melalui eksploitasi SDA ketimbang inovasi teknologi.

 

Fenomena ini mencerminkan struktur ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada sektor primer dan menimbulkan pertanyaan: mengapa teknologi belum menjadi pendorong utama kekayaan di negeri ini? 

 

Faktor Ekonomi dan Historis

 

Ekonomi Indonesia secara historis berkembang melalui sektor pertanian dan pertambangan, yang menjadi tulang punggung sejak era kolonial. Pasca-kemerdekaan, fokus pada ekspor komoditas seperti karet, kelapa sawit, dan batubara terus berlanjut, didukung oleh permintaan global yang tinggi.

 

Bisnis berbasis SDA menawarkan keuntungan cepat dan skala besar, terutama jika dikelola dengan akses ke pasar internasional. Sebaliknya, pengembangan teknologi membutuhkan waktu, modal besar, dan ekosistem pendukung yang kompleks—seperti pendidikan tinggi, riset, dan infrastruktur digital—yang hingga kini belum sepenuhnya matang di Indonesia.

 

Data Forbes per Februari 2025 menunjukkan bahwa banyak miliarder Indonesia masih mengandalkan SDA. Prajogo Pangestu, orang terkaya nomor satu dengan kekayaan sekitar US$55,4 miliar (Rp866 triliun), membangun imperiumnya melalui Barito Pacific, perusahaan yang bergerak di sektor petrokimia, energi, dan pertambangan batu bara.

 

Kesuksesannya juga didorong oleh anak usahanya, Barito Renewables Energy dan Petrindo Jaya Kreasi, yang memanfaatkan SDA untuk menghasilkan energi dan bahan baku industri.

 

Orang Terkaya dan Dominasi SDA

 

Kita dapat melihat beberapa nama dalam daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes (data akhir 2024 dan awal 2025):

 

  1. Prajogo Pangestu (US$55,4 miliar)
    • Bisnis/Perusahaan: Barito Pacific, Barito Renewables Energy, Petrindo Jaya Kreasi.
    • Kekayaan Prajogo melonjak berkat  (IPO) perusahaan tambang dan energi hijaunya. Ini menunjukkan bagaimana SDA, meski mulai beralih ke energi terbarukan, tetap menjadi inti bisnisnya.
  2. Low Tuck Kwong (US$27,4 miliar)
    • Bisnis/Perusahaan: Bayan Resources.
    • Pendiri Bayan Resources ini menguasai sektor batu bara di Kalimantan. Kekayaannya bergantung pada ekspor komoditas yang fluktuatif, namun sangat menguntungkan di pasar global.
  3. R. Budi Hartono dan Michael Hartono (US$50,3 miliar gabungan)
    • Bisnis/Perusahaan: Djarum, Bank Central Asia (BCA).
    • Meski dikenal dengan BCA, akar kekayaan Hartono bersaudara berasal dari Djarum, perusahaan rokok yang memanfaatkan tembakau —produk yang dihasilkan dari SDA. Diversifikasi ke perbankan menunjukkan langkah menuju sektor lain, tapi SDA tetap fondasinya.
  4. Dewi Kam (US$4,8 miliar)
    • Bisnis/Perusahaan: Bayan Resources (saham minoritas), Sumbergas Sakti Prima.
    • Sebagai satu-satunya wanita di daftar 10 besar, kekayaan Dewi berasal dari investasi di sektor batu bara dan energi, menegaskan soal dominasi SDA.
  5. Lim Hariyanto Wijaya Sarwono (US$4,3 miliar)
    • Bisnis/Perusahaan: Harita Group.
    • Harita Group menguasai pertambangan nikel dan bauksit, dua komoditas yang sedang naik daun berkat permintaan baterai kendaraan listrik. Ini adalah contoh SDA yang beradaptasi dengan tren global.

Mengapa Teknologi Belum Dominan?

 

Berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat atau China, di mana teknologi mendominasi daftar orang terkaya (misalnya Elon Musk atau Jack Ma), Indonesia menghadapi beberapa hambatan:
  • Inovasi teknologi membutuhkan tenaga kerja terampil dan fasilitas riset. Indeks Inovasi Global 2023 menempatkan Indonesia di peringkat 61 dunia, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 5).
  • Risiko dan Waktu: Bisnis teknologi sering kali berisiko tinggi dan membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan keuntungan, sementara SDA memberikan hasil yang lebih pasti dan cepat.
  • Kebijakan Pemerintah: Insentif untuk sektor teknologi masih terbatas dibandingkan subsidi atau kemudahan izin di sektor pertambangan dan perkebunan.
Namun, ada pengecualian. Eddy Kusnadi Sariaatmadja, dengan kekayaan sekitar US$3 miliar, membangun Emtek di sektor media dan teknologi, mengelola stasiun TV seperti SCTV dan layanan digital. Meski begitu, ia tetap outlier di antara dominasi SDA.

 

Ketergantungan pada SDA memiliki kelemahan, seperti kerentanan terhadap volatilitas harga komoditas dan dampak lingkungan.

 

Krisis iklim juga mendorong transisi ke energi terbarukan, yang mulai terlihat pada langkah Prajogo dengan Barito Renewables Energy. Di sisi lain, potensi teknologi di Indonesia besar, dengan populasi muda yang melek digital dan pertumbuhan startup yang pesat (contoh: Gojek dan Tokopedia, meski belum melahirkan miliarder sekelas SDA).

 

Mayoritas orang terkaya di Indonesia masih bergantung pada kakayaan alam karena faktor historis, ekonomi, dan pragmatisme bisnis.

 

Nama-nama seperti Prajogo Pangestu (Barito Pacific), Low Tuck Kwong (Bayan Resources), dan Hartono bersaudara (Djarum) adalah bukti nyata. Sementara Eddy Kusnadi Sariaatmadja (Emtek) bisa menjadi inspirasi bahwa teknologi memiliki potensi, tapi dibutuhkan ekosistem yang lebih kuat agar Indonesia tak hanya kaya dari alam, tetapi juga dari inovasi.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.