Jakarta — Pada akhir tahun 2024, pertumbuhan kredit konsumsi mengalami perlambatan, yang mencerminkan kondisi daya beli masyarakat yang melemah. Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa realisasi penyaluran kredit per Desember 2024 hanya tumbuh 10,39 persen, turun dibandingkan dengan November 2024 yang mencapai 10,79 persen.
Jika dilihat secara lebih rinci, sektor dengan penyaluran kredit tertinggi adalah kredit investasi yang tumbuh sebesar 13,62 persen, namun tetap lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 13,77 persen. Sementara itu, kredit konsumsi yang menjadi indikator daya beli masyarakat juga mengalami penurunan, dari 10,94 persen di November menjadi 10,61 persen di Desember 2024. Begitu pula dengan kredit modal kerja yang turun dari 8,92 persen menjadi 8,35 persen.
Meskipun ada perlambatan, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Nugroho Joko Prastowo, menilai bahwa pertumbuhan kredit di atas 10 persen dalam kondisi ekonomi yang melambat tetap merupakan pencapaian positif. “Dalam situasi seperti ini, jika kredit masih bisa tumbuh di atas 10 persen, itu merupakan capaian yang cukup baik. Hal ini juga didukung oleh kebijakan yang tepat serta sektor riil yang masih mampu bertahan,” ungkapnya dalam acara Pelatihan Wartawan di Kantor BI Aceh pada 7 Februari 2025.
BI melaporkan bahwa pertumbuhan kredit tersebut masih didukung oleh belanja modal perusahaan serta konsumsi rumah tangga kelas menengah ke atas yang masih cukup kuat. Namun, konsumsi dari kelas menengah ke bawah cenderung stagnan atau bahkan mengalami tekanan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penghasilan masyarakat kelas menengah pada tahun 2024 berada di kisaran Rp2,04 juta hingga Rp9,91 juta per kapita per bulan. Sementara itu, kelompok ekonomi atas rata-rata memiliki sisa pendapatan sekitar Rp1,59 juta per bulan.
Namun, BI masih mencatat adanya kenaikan pada Indeks Penghasilan Saat Ini di bulan Desember 2024 yang mencapai 123,9, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya 121,9. Jika dirinci, kelompok masyarakat dengan pendapatan Rp1-2 juta mengalami kenaikan indeks dari 112,4 menjadi 113,8. Sementara itu, mereka yang berpenghasilan Rp2,1-3 juta mengalami penurunan dari 117,1 ke 114,3.
Adapun masyarakat dengan penghasilan Rp3,1-4 juta tercatat memiliki indeks 121,4, sedikit meningkat dibandingkan November yang berada di 120,8. Sementara itu, kelompok berpendapatan Rp4,1-5 juta serta di atas Rp5 juta masing-masing mencapai indeks 127,3 dan 139,1, meningkat dari sebelumnya yang hanya 122,0 dan 136,9.
“Konsumsi dari masyarakat kelas menengah dan atas masih bertumbuh, yang pada akhirnya juga berkontribusi pada permintaan kredit,” ujar Joko.
Di sisi lain, meskipun pertumbuhan kredit konsumsi melambat, kemampuan bayar rumah tangga tetap terjaga dengan baik. Hal ini terlihat dari rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) yang masih berada di angka 2,04 persen. Jika dirinci berdasarkan segmen, NPL kredit multiguna tercatat sebesar 1,44 persen, kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar 2,68 persen, kredit kendaraan bermotor 2,28 persen, dan NPL kredit peralatan rumah tangga sebesar 1,09 persen.
“Secara umum, kemampuan bayar rumah tangga masih stabil. Rasio NPL juga tidak mengalami lonjakan signifikan dan masih berada dalam batas aman,” tutup Joko.