Surabaya — PT. Hitakara, yang menklaim sebagai korban mafia peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, memberikan apresiasi kepada Komisi Yudisial (KY) atas tindakan tegas terhadap Hakim Mangapul, SH, MH, dimana KY telah merekomendasikan supaya majelis hakim yang memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur pada 30 Juli 2024 tersebut dipecat.
Rekomendasi Pemecatan ini dinilai tepat mengingat peran Mangapul dalam dua vonis bebas, termasuk vonis Victor S. Bachtiar dalam kasus pidana dalam kepailitan yang melibatkan PT. Hitakara.
Bachtiar, yang diduga membuat tagihan palsu terhadap PT. Hitakara, bersama pihak-pihak terkait memanfaatkan skema PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan Kepailitan untuk menguasai aset perusahaan.
Dalam kasus ini, PT. Hitakara mengungkap bahwa dua hotel milik mereka ikut terseret dalam harta pailit akibat manuver ilegal tersebut. Akibatnya, perusahaan yang sempat membaik pasca pandemi COVID-19 harus berhenti beroperasi akibat kerugian besar.
R Primaditya Wirasandi, SH, kuasa hukum pidana PT. Hitakara, menyatakan bahwa keputusan bebas terhadap Bachtiar tidak berdasarkan fakta materiil yang muncul di persidangan, serupa dengan yang terjadi dalam putusan Gregorius Ronald Tannur.
Hal ini menurut dia, semakin mengukuhkan kecurigaan adanya praktik yang tidak benar dalam proses peradilan.
Laporan resmi telah diajukan PT. Hitakara kepada Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) terkait dugaan suap dalam putusan perkara No. 952/Pid.B/2024/PN.Sby. Mereka juga menuntut agar hakim Suswanti, SH, dan Sudar, SH, yang terlibat dalam putusan tersebut, diberhentikan.
“Kami minta hakim Suswanti, SH, dan Sudar, SH juga dapat dipecat.” Ujar R Primaditya
PT. Hitakara menyatakan dukungan terhadap rencana KPK untuk mengungkap adanya praktik suap di balik putusan-putusan ini, yang telah menyebabkan kerugian besar bagi mereka.
Dalam pernyataannya, Primaditya meminta MA, Bawas MA, dan KPK untuk melakukan pengawasan ketat terhadap proses peradilan yang sedang berlangsung, termasuk perkara pidana No. 1277/Pid.B/2024/PN.Sby yang melibatkan dua terdakwa lainnya, Indra Ari Murto dan Riansyah.
Keduanya terlibat dalam skema tagihan palsu yang turut memperparah kerugian PT. Hitakara, yang kini masih berjuang untuk pulih setelah terpuruk akibat pandemi dan skandal hukum yang menjerat mereka.
Didakwa Menggunakan Surat Palsu
Victor Sukarno Bachtiar dan beberapa rekannya, Indra Ari Murto dan Riansyah, sebelumnya didakwa terlibat dalam penggunaan surat palsu dalam permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap PT. Hitakara di Pengadilan Niaga Surabaya pada 2022.
Kasus ini bermula dari keluhan Linda Herman, salah satu penyewa unit hotel di Hotel Harris Resort Benoa Bali, yang menyatakan tidak menerima bagi hasil dari pengelolaan hotel tersebut sejak tahun keempat operasional.
Victor Bachtiar, yang dikenal sebagai kurator, menyarankan penggunaan mekanisme PKPU terhadap PT. Hitakara sebagai cara cepat untuk menuntut hak-hak kliennya. Namun, ternyata PKPU yang diajukan seharusnya dilakukan terhadap PT. Tiga Sekawan, pengelola hotel, bukan PT. Hitakara.
Dalam surat PKPU, Victor dan timnya menggunakan perhitungan Return of Investment (ROI) yang diklaim tidak sesuai dengan perjanjian bagi hasil yang telah disepakati. Akibatnya, jumlah utang PT. Hitakara yang tercantum dalam permohonan PKPU jauh lebih besar dari yang seharusnya.
Hasil audit dari Kantor Akuntan Publik Gideon Adi & Rekan menunjukkan bahwa pendapatan bersih hotel tersebut mengalami kerugian dalam beberapa tahun terakhir, yang membuat klaim terhadap PT. Hitakara tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini menyebabkan kerugian bagi PT. Hitakara dan akhirnya perusahaan tersebut dinyatakan pailit.
“Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana sebagaimana ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” Kutip surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dwi Hartanta.@ Jn