Surabaya – Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada 2 Juli 2025 menyisakan duka mendalam. Kapal yang mengangkut 65 orang penumpang dan awak ini tenggelam sekitar 30 menit setelah meninggalkan Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, menuju Gilimanuk, Bali.
Hingga saat ini, tercatat 30 orang berhasil diselamatkan, 10 orang meninggal dunia, dan sekitar 25 lainnya masih dalam pencarian.
Investigasi awal oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkan bahwa air laut masuk melalui pintu ruang mesin yang tidak tertutup rapat. Ombak setinggi 2 hingga 3 meter yang menghantam kapal diduga mempercepat kemiringan hingga akhirnya kapal tenggelam. Namun, penyebab utama insiden ini diperkirakan lebih kompleks dan mengarah pada potensi kelalaian sistemik.
“Informasi yang diterima KNKT dari hasil investigasi, juga menunjukkan ada faktor gelombang cukup besar pada saat tragedi tenggelamnya KMP Tunu.” ujar ketua KNKT Soejanto Tjahjono.
Ketua KNKT, menegaskan akan mengkaji SOP dari sisi KSOP, operator pelayaran, hingga kewenangan nakhoda dalam memutuskan jalan atau tidaknya kapal.
KNKT bakal mengecek kesesuaian prakiraan cuaca BMKG dengan laporan real time di laut. Jika terjadi perbedaan atau kelalaian interpretasi, maka KSOP bisa dinilai lalai memberi izin pelayaran.
“Tahap awal investigasi dimulai dengan melacak dokumen Surat Persetujuan Berlayar (SPB) milik kapal… termasuk apakah persyaratan-persyaratan yang diperlukan di SPB seperti cuaca… semua sesuai dengan peraturan.” Ujar Soejanto.
Berdasarkan aturan Kementerian Perhubungan, SPB hanya bisa dikeluarkan apabila kapal dinyatakan layak dan kondisi cuaca memenuhi standar keamanan pelayaran. Fakta bahwa kapal tetap diberangkatkan di tengah gelombang tinggi memunculkan dugaan adanya kelalaian dalam proses penerbitan izin tersebut.
Ketua KNKT, Soejanto Tjahjono, mengonfirmasi bahwa pihaknya akan menelusuri lebih dalam proses teknis pemberian SPB dan apakah ada faktor tekanan operasional yang mendorong kapal tetap berlayar meskipun kondisi laut tidak mendukung. “Kami akan cek apakah SPB diterbitkan dengan mengacu pada data cuaca aktual dan SOP pelabuhan,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi, menyatakan bahwa KMP Tunu telah menjalani pemeriksaan rutin dan docking terakhir pada Oktober 2024. Ia mengatakan bahwa kapal dalam kondisi layak berlayar. Namun demikian, ia menyerahkan proses investigasi sepenuhnya kepada KNKT.
“SPB memang diterbitkan karena kapal laik laut dan seluruh dokumen lengkap, termasuk laporan cuaca saat itu. Tapi jika terbukti terjadi kelalaian prosedural dalam membaca perkembangan cuaca real time, maka itu harus jadi perhatian serius,” katanya.
Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KAMAK) menyatakan bahwa insiden ini tidak bisa dianggap sebagai musibah semata. Dalam pernyataannya, juru bicara KAMAK, Tomy Kaligis, mengatakan, “Jika memang SPB dikeluarkan saat gelombang tinggi sudah terdeteksi, maka ini bukan sekadar kesalahan administratif — ini potensi kelalaian yang menghilangkan nyawa.”kata dia.
KAMAK mendesak agar investigasi KNKT melibatkan pihak independen serta meminta Kementerian Perhubungan untuk mengevaluasi kinerja KSOP Ketapang. KAMAK juga mendorong aparat penegak hukum untuk membuka kemungkinan pidana apabila ditemukan unsur kelalaian berat atau pelanggaran SOP.
Saat ini, proses SAR masih terus berlangsung, dibantu oleh Basarnas, TNI AL, Polri, nelayan lokal, dan penyelam profesional yang menelusuri area tenggelamnya kapal di kedalaman 40–60 meter. KNKT menargetkan laporan investigasi awal bisa keluar dalam dua minggu ke depan.@ *
 
			 
											