Danantara: Superholding atau Superhutang?

Oleh: Wong Ndeso

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Ketika pemerintah mengumumkan pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), banyak yang berharap ini akan menjadi “Temasek”-nya Indonesia, mengelola aset-aset raksasa BUMN dengan total mencapai Rp14.715 triliun. Namun, mari kita telaah lebih dalam: apakah ini langkah strategis atau justru jebakan finansial?

Tujuh BUMN yang akan berada di bawah naungan Danantara antara lain Bank Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom Indonesia, dan MIND ID. Sekilas, deretan nama besar ini tampak mengesankan. Namun, di balik gemerlap angka aset, tersembunyi tumpukan utang dan kinerja keuangan yang tidak selalu cemerlang.

Berdasarkan data terbaru, total liabilitas dari 65 BUMN mencapai Rp6.957,4 triliun pada tahun 2023. Liabilitas ini terdiri dari utang jangka pendek sebesar Rp1.192,2 triliun, liabilitas spesifik lembaga keuangan sebesar Rp4.042,1 triliun, dan utang jangka panjang sebesar Rp1.723,1 triliun.

Beberapa BUMN diketahu mengalami kerugian dan memiliki utang signifikan antara lain PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Total utangnya mencapai Rp138,88 triliun per Juni 2024, dengan utang jangka pendek sebesar Rp21,12 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp117,76 triliun.

Kemudian PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom): Total utang sebesar Rp51,21 triliun per Juni 2024, terdiri dari utang jangka pendek Rp13,09 triliun dan utang jangka panjang Rp38,12 triliun.

Belum lagi enam BUMN yang terancam bangkrut karena mengalami kerugian dan utang yang menumpuk, yaitu PT Indah Karya (Persero), PT Dok Dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Amarta Karya (Persero), PT Barata Indonesia (Persero), PT Varuna Tirta Prakasya (Persero), dan PT Semen Kupang. Ini juga masalah serius yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Untuk membiayai operasional dan proyek infrastruktur, BUMN sering menerbitkan obligasi. Namun, siapa yang akan membeli obligasi dari perusahaan dengan kinerja keuangan yang meragukan? Di sinilah peran Bank Indonesia (BI) menjadi krusial.

Jika BI terlibat dalam pembelian obligasi-obligasi ini, kita menghadapi risiko konflik kepentingan dan monetisasi utang yang dapat berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.

Apalagi Jika Bank Indonesia terlibat secara signifikan dalam pembelian obligasi 7 BUMN Danantara, hal ini dapat menimbulkan Peran ganda Bank Indonesia sebagai pembeli obligasi dan pengendali kebijakan moneter dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Sebab, Pembelian obligasi oleh Bank Indonesia dapat dianggap sebagai bentuk pencetakan uang baru untuk membiayai utang, yang berpotensi memicu inflasi.

Pada akhirnya adalah Ketergantungan yang tinggi pada Bank Indonesia untuk pembiayaan yang dapat mengurangi disiplin fiskal dan mengaburkan batas antara kebijakan moneter dan fiskal.

Dengan menggabungkan aset dan utang dari tujuh BUMN besar, Danantara berpotensi menjadi entitas dengan aset besar namun juga utang yang menggunung. Tanpa strategi pengelolaan yang tepat, Danantara bisa berubah dari superholding menjadi superhutang, membebani perekonomian nasional alih-alih meringankannya.

Pembentukan Danantara seharusnya menjadi langkah maju dalam pengelolaan aset negara. Namun, tanpa transparansi, akuntabilitas, dan strategi yang jelas, kita berisiko menciptakan raksasa finansial dengan kaki lempung. Masyarakat dan pemangku kepentingan harus terus mengawasi perkembangan ini agar Danantara benar-benar menjadi solusi, bukan sumber masalah baru.

Disilain, Danantara nantinya menklaim bahwa fokus ujuan utamanya adalah membiayai infrastruktur. Namun, Proyek infrastruktur biasanya memiliki return jangka panjang, sehingga bisa butuh bertahun-tahun sebelum investasi mulai menghasilkan keuntungan.

Jika Danantara hanya bergantung pada obligasi dan dibiayai oleh BI atau investor terbatas, ini bisa mengarah pada penggelembungan utang negara tanpa keuntungan yang nyata dalam jangka pendek.

Tidak seperti sovereign wealth fund (SWF) negara lain yang mengelola aset global yang menguntungkan, Danantara lebih seperti “kantong negara” untuk proyek pembangunan dalam negeri yang memiliki risiko politik tinggi. @

Penulis mengenalkan dirinya sebagai Arek Ndeso yang tinggal di pinggiran metropolis

Get real time updates directly on you device, subscribe now.