Di layar-layar kecil yang kita genggam setiap hari, nama-nama besar seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan X hadir seperti sahabat akrab—menyapa, menghibur, kadang menghasut, tapi selalu ada.
Kita terbiasa melihat wajah-wajah ini, seolah mereka bagian dari ruang publik kita. Namun, di balik algoritma yang membentuk kesadaran dan rutinitas sehari hari, ada pertanyaan sunyi yang terlalu lama diabaikan: Siapa yang mengawasi mereka?
Di era digital, data bukan hanya serangkaian angka yang mati. Ia adalah cerminan kita—preferensi, kelemahan, keyakinan, bahkan pola tidur dan detak jantung.
Setiap klik adalah pengakuan, setiap scroll adalah pengabdian. Dan tanpa sadar, kita telah menyerahkan sebagian besar eksistensi digital kita kepada perusahaan-perusahaan asing, yang beroperasi nyaris tanpa kendali hukum yang memadai di negara ini.
UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sudah hadir, bagai mercusuar harapan. Tapi apakah kita melihat sinar itu benar-benar menembus kabut? Tidak ada audit terbuka. Tidak ada laporan dari otoritas lokal. Tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran.
Ini bukan sekadar kelemahan teknis—ini adalah bentuk kekosongan negara.
Facebook dan kawan-kawan tunduk pada hukum Eropa melalui GDPR. Di sana, mereka membayar denda miliaran euro, tunduk pada audit, bahkan kadang diusir dari perangkat-perangkat pemerintah.
Di Indonesia? Mereka membangun kantor perwakilan, menjalankan operasi bisnis, mengeruk keuntungan, lalu… bebas. Tidak ada satu pun sanksi tegas yang pernah diberlakukan kepada mereka. Tak ada pula mekanisme transparan yang bisa diakses publik untuk menilai sejauh mana mereka mematuhi UU PDP.
Pemerintah kita tampaknya terlalu sibuk membujuk mereka agar tetap beroperasi di sini—alih-alih menegaskan bahwa Indonesia bukan pasar tanpa etika.
Negara bukan sekadar ruang jual beli, tapi harus menjadi pelindung bagi warganya, bahkan di ranah digital.
Kita sering terpesona oleh kata “transformasi digital.” Namun, transformasi macam apa yang kita rayakan jika kita tidak punya kedaulatan atas data kita sendiri?
Jika anak-anak muda kita dicekoki algoritma yang disetel entah dari mana, jika percakapan kita direkam, dianalisis, dijual—dan semua itu terjadi tanpa izin yang sungguh-sungguh,
Maka Di sinilah tragedi itu terjadi dalam senyap: warga menjadi produk, negara menjadi penonton.
Kita ingin negara ini cukup berdaulat untuk berkata: “Jika kalian ingin bermain di tanah kami, maka patuhilah hukum kami.” Bukan hanya dengan slogan, tapi dengan audit nyata, denda nyata, dan keberanian untuk bersikap ketika hak-hak warga dilanggar.
Negeri ini terlalu besar untuk diperlakukan sebagai sekadar target iklan. Terlalu berdaulat untuk menjadi koloni data dari raksasa-raksasa Silicon Valley.
Jika pemerintah tak kunjung tegas, maka kitalah—warga digital Indonesia—yang harus bersuara. Karena di era ini, diam adalah bentuk lain dari penyerahan diri.
			
											