Indonesia di Ambang Gelap: Ketergantungan, Korupsi, dan Jeratan Pinjol

Oleh: Samen

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Indonesia sedang berada di titik kritis. Negeri yang kaya sumber daya alam (SDA) ini justru semakin terjebak dalam ketergantungan ekonomi, serbuan impor, dan dominasi asing. Ironisnya, di tengah limpahan kekayaan, rakyat harus berutang melalui pinjaman online (pinjol) hanya untuk bertahan hidup. Sementara itu, industri lokal tumbang, pengangguran meningkat, dan korupsi merajalela.

Apakah Indonesia masih berdaulat atas nasibnya sendiri?

Perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada SDA seperti minyak sawit, batubara, dan nikel yang menyumbang 20-25% PDB (BPS, 2024). Namun, ketergantungan ini lebih banyak menguntungkan segelintir pihak.

Ketika harga batubara anjlok sejak 2023, ekspor mineral turun 7,2% pada Q1 2024, menggerus pendapatan negara.

Pemerintah mengandalkan hilirisasi sebagai solusi, seperti pelarangan ekspor nikel mentah. Hasilnya, investasi di sektor ini mencapai Rp 401,5 triliun pada Q1 2024, dengan separuhnya berasal dari investor asing. Sayangnya, keuntungan dari hilirisasi ini lebih banyak mengalir ke korporasi multinasional dan elit lokal, bukan kepada masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.

Indonesia semakin tersudut dalam perdagangan bebas, terutama dengan China melalui ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Impor tekstil dari China pada 2023 mencapai Rp 50 triliun, sementara ekspor Indonesia hanya Rp 20 triliun. Akibatnya, ribuan pabrik tekstil, garmen, dan alas kaki tutup, menyebabkan lebih dari 200.000 pekerja kehilangan pekerjaan dalam satu dekade terakhir (API, 2024).

Defisit perdagangan dengan China mencapai Rp 300 triliun pada 2023, dan tren ini terus memburuk. Barang murah membanjiri pasar, tetapi industri lokal justru mati suri.

Sektor pertambangan Indonesia dikuasai perusahaan asing, meskipun pemerintah mengklaim memiliki kendali. Freeport-McMoRan masih mengendalikan operasi emas dan tembaga di Papua, meski kepemilikan saham mayoritas telah diambil alih oleh Indonesia. Sementara itu, raksasa China seperti Tsingshan menguasai mayoritas smelter nikel di Sulawesi dan Maluku Utara dengan investasi mencapai Rp 33,4 triliun (Q1 2024).

Menurut Global Witness (2023), 70% keuntungan dari nikel olahan justru mengalir ke luar negeri atau rekening offshore para elit.

Hilirisasi yang digembar-gemborkan sebagai kebangkitan ekonomi nasional malah menjadi alat bagi perusahaan asing untuk semakin mencengkram ekonomi kita.

Korupsi di Indonesia semakin menggila. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia turun menjadi 34 pada 2022 (Transparency International) dan hingga 2025 belum menunjukkan perbaikan malah nilai kerugian negara makin gemuk. Dari skandal bansos COVID-19 hingga suap ekspor benur, korupsi di sektor SDA terus merugikan negara hingga ratusan triliun.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dulu digdaya kini melemah. Biaya logistik membengkak akibat mafia proyek, sementara anggaran publik dipangkas.

Pinjaman Online: Cermin Putus Asa Rakyat

Kehancuran ekonomi membuat rakyat mencari solusi instan, salah satunya melalui pinjaman online (pinjol). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pinjaman online mencapai Rp 88,4 triliun pada 2024, meningkat 230% sejak 2020.

Survei LIPI (2023) menunjukkan bahwa 60% pengguna pinjol mengambil utang untuk kebutuhan dasar seperti makan dan membayar listrik. Dengan upah minimum Rp 4-5 juta/bulan di kota kota besar tak cukup untuk biaya hidup, banyak yang akhirnya terjebak dalam lingkaran utang dengan bunga mencekik.

Sementara Di sektor digital, perusahaan seperti Gojek dan Grab yang didukung modal asing menguasai pasar ekonomi digital yang diprediksi bernilai US$130 miliar pada 2025 (Google-Temasek). Sementara itu, startup lokal kesulitan berkembang akibat regulasi yang lambat dan infrastruktur yang tertinggal.

Di tingkat makro, utang luar negeri Indonesia mencapai US$407 miliar (Q3 2024, BI), dengan lebih dari separuhnya dipegang oleh sektor swasta, termasuk perusahaan asing. Ketergantungan ini menjadikan Indonesia rentan terhadap guncangan ekonomi global dan kehilangan kedaulatan ekonomi.

Pengangguran dan Kejahatan: Lingkaran Setan yang Tak Terputus

Pengangguran terbuka naik ke 5,32% pada 2024, dengan lebih dari 7,5 juta orang kehilangan pekerjaan akibat penutupan pabrik dan minimnya lapangan kerja formal (BPS, 2024).

Di sisi lain, angka kejahatan properti naik 15% dalam dua tahun terakhir (Polri, 2024).

Narasi resmi pemerintah tentang “pertumbuhan ekonomi 5,1% pada 2024” terdengar seperti ilusi.

SDA melimpah, tetapi rakyat tercekik. Industri lokal tumbang, sementara impor merajalela. Kekayaan dikuasai asing, korupsi mengakar, dan rakyat terpaksa berutang demi bertahan hidup.

Visi Berdikari Soekarno—kemandirian ekonomi dan martabat nasional—kini hanya menjadi gema dari masa lalu. Jika tak ada perubahan nyata, Indonesia akan terus menjadi “negara kaya yang miskin.” Namun surga bagi oligarki.

Tanpa reformasi mendalam—terutama dalam pemberantasan korupsi, perlindungan industri lokal, dan redistribusi kekayaan, masa depan Indonesia tetap akan berada dalam kegelapan. 

Get real time updates directly on you device, subscribe now.