Menteri BUMN: Gagal Awasi BBM, Tapi Tetap Lengket Jabatan!

Oleh: Bambang Buris Rawa

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Skandal BBM oplosan yang melibatkan Pertamina Patra Niaga yang melakukan pencampuran bahan bakar berkualitas buruk ini menimbulkan kerusakan serius baik segi keuangan negara bahkan masyarakat. Alih-alih segera bertindak tegas, pengawasan dari kementerian terkait justru dipertanyakan.

Menteri BUMN yang seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan perusahaan negara tampak adem ayem, seolah ini hanyalah masalah kecil yang bisa ditutupi dengan pencitraan.

Sementara di negara lain, pejabat tinggi yang gagal mengawasi institusi di bawahnya akan segera mengundurkan diri karena integritas, di Indonesia justru sebaliknya: ketika rakyat menderita akibat kelalaian sistem, para petinggi malah semakin lengket dengan jabatannya.

BBM oplosan bukan hanya soal kejahatan korporasi, tapi juga bukti lemahnya pengawasan dan hilangnya rasa malu di kalangan pejabat negara.

Ini bukan sekadar modus operandi para pelaku, tapi respons pejabat yang bertanggung jawab. Menteri BUMN dan jajaran petinggi terkait malah menganggap kasus ini sebagai “oknum nakal.” Seperti biasa, narasi standar pun keluar: “Kami akan melakukan evaluasi,” “Kami sedang melakukan investigasi,” dan tentu “masalah sudah ditangani penegak hukum.”

Malu? Apa Itu?

Di negara-negara dengan akuntabilitas tinggi, seorang pejabat yang gagal menjaga integritas instansinya akan memilih mundur. Contoh paling terkenal adalah Menteri Transportasi Jepang yang mengundurkan diri karena keterlambatan kereta api beberapa detik—suatu hal yang di Indonesia justru dianggap prestasi jika keterlambatan hanya dalam hitungan menit.

Di Amerika Serikat, jika sebuah perusahaan di bawah kementerian tersandung skandal besar, menterinya bisa terkena tekanan politik dan dipaksa mundur. Sebut saja Eric Shinseki, mantan Menteri Urusan Veteran AS, yang mengundurkan diri karena gagal mengelola fasilitas kesehatan bagi veteran.

Bukan karena dia korup, bukan karena dia ketahuan menggelapkan dana, tapi karena dia dianggap gagal menjalankan tugasnya dengan baik.

Tapi di Indonesia? Menteri BUMN tetap duduk nyaman di kursinya, Kasus BBM oplosan? “Itu urusan pihak berwenang.” Kurangnya pengawasan? “Kami sudah menjalankan prosedur.” Jadi siapa yang bertanggung jawab? “Oknum.”

Negara Oknum

Istilah “oknum” seolah menjadi tameng sempurna bagi pejabat-pejabat yang enggan bertanggung jawab. Jika ada kasus korupsi? “Itu ulah oknum.” Skandal BBM oplosan? “Hanya segelintir oknum.” Kebocoran data? “Lagi-lagi oknum.” Seolah-olah kementerian dan perusahaan BUMN hanyalah korban tak berdosa yang kebetulan dikelilingi oleh para penjahat kelas kakap.

Padahal, rakyat butuh lebih dari sekadar pernyataan normatif. Jika BBM oplosan bisa lolos ke SPBU, artinya ada celah besar dalam sistem pengawasan.

Jika pengawasan lemah, itu berarti kementerian dan BUMN yang bertanggung jawab sudah gagal menjalankan tugasnya. Dan jika mereka gagal, di negara lain, mundur adalah jalan yang terhormat.

Menteri BUMN: Jabatan atau Amanah?

Tapi di Indonesia, jabatan tampaknya lebih mirip kursi empuk daripada amanah yang berat. Bukannya mundur atau melakukan perombakan besar-besaran, menteri kita lebih sibuk bermain kata-kata. Jika ditanya tanggung jawabnya, jawabannya sering kali lebih cocok sebagai bahan stand-up comedy daripada kebijakan serius.

Seharusnya, jika kasus sebesar ini terjadi, menteri terkait setidaknya memberikan pernyataan tegas, mengakui kesalahan sistemik, dan menawarkan solusi nyata. Tapi sayangnya, standar moral di negeri ini tidak setinggi harga BBM subsidi yang terus naik.

Menunggu Kesadaran yang Tak Kunjung Datang

Mungkin, suatu hari nanti, Indonesia akan memiliki pejabat yang tahu arti tanggung jawab. Yang berani mundur ketika gagal, bukan sibuk mencari kambing hitam. Yang mengutamakan integritas, bukan sekadar pencitraan. Yang memiliki rasa malu, bukan kebal kritik.

Tapi sampai hari itu tiba, kita hanya bisa menyaksikan skandal demi skandal berlalu, diiringi konferensi pers penuh klise, dan tentu saja, dengan sang menteri yang tetap duduk nyaman di kursinya.

Tertawa atau menangis? Anda yang tentukan.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.