Jakarta, — Pemerintah Indonesia melalui Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengakui bahwa terjadi kerja sama transfer data digital ke luar negeri, termasuk ke Amerika Serikat.
Pernyataan ini memicu kekhawatiran soal potensi pelanggaran terhadap konstitusi negara dan hak fundamental perlindungan data pribadi warga.
Dalam acara peluncuran Indo-Pacific Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (17/7/2025), Menteri Meutya menyatakan bahwa Indonesia aktif menjalin kolaborasi dengan mitra luar negeri dalam bidang digitalisasi, termasuk pengelolaan dan perlindungan data.
“Kami memastikan bahwa transfer data ke AS tidak dilakukan sembarangan. Kami bekerja sama dengan perusahaan yang telah memenuhi standar internasional terkait perlindungan data dan keamanan siber,” ujar Meutya Hafid.
Meski menyebut adanya standar internasional, namun hingga kini tidak ada penjelasan rinci mengenai jenis data yang ditransfer, siapa pihak penerima, dan apakah pengguna (subjek data) telah memberikan persetujuan secara sah.
Hal ini menimbulkan polemik terkait kepatuhan pemerintah terhadap Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP No. 27 Tahun 2022) dan konstitusi negara.
Menurut Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, setiap warga negara Indonesia berhak atas perlindungan data pribadi:
*”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya…
Sementara dalam Pasal 56 ayat (1) UU PDP, ditegaskan:
*”Pengendali Data Pribadi dapat memindahkan Data Pribadi ke luar negeri sepanjang negara tujuan memiliki tingkat perlindungan yang setara, atau telah mendapat persetujuan dari subjek data.”
Jika tidak ada persetujuan eksplisit dari subjek data atau jaminan kesetaraan proteksi di negara tujuan, maka transfer data tersebut melanggar hukum positif dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM konstitusional.@
