SurabayaPostNews – Pada tahun 2001, ekonom Jim O’Neill dari Goldman Sachs memperkenalkan akronim BRIC—Brasil, Rusia, India, dan China—sebagai kelompok negara berkembang yang akan menjadi motor ekonomi global di abad ke-21.
Dunia melihatnya sebagai gagasan baru yang visioner. Namun, seperti yang ditulis oleh kolumnis Philip Bowring dalam New York Times pada 22 April 2011, konsep pengelompokan negara-negara berkembang untuk menantang dominasi global bukanlah sesuatu yang benar-benar orisinal.
Akar sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke visi Presiden pertama Indonesia, Soekarno, setengah abad sebelumnya, melalui gagasan new emerging forces (NEFO) yang ia suarakan dengan lantang pada era 1960-an.
Nasionalis Revolusioner seperti Soekarno, memiliki mimpi besar untuk menyatukan kekuatan negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ia melihat dunia terbagi antara old established forces (OLDEFO)—kekuatan imperialis dan kolonial Barat—dan NEFO, yaitu negara-negara yang baru merdeka dan tengah bangkit dari penindasan.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok di Beograd tahun 1961, Soekarno menyerukan solidaritas di antara bangsa-bangsa yang sedang berkembang untuk melawan hegemoni global yang timpang. Baginya, NEFO bukan sekadar aliansi politik, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi dan dominasi budaya yang dikenakan oleh kekuatan lama.
Jika dibandingkan dengan BRICS (yang kemudian bertambah dengan Afrika Selatan pada 2010), ada resonansi menarik antara visi Soekarno dan realitas modern kelompok ini.
BRICS pada dasarnya adalah perkumpulan negara-negara berkembang yang memiliki potensi ekonomi besar, yang bersama-sama menantang dominasi ekonomi Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa.
Meskipun BRICS lebih berfokus pada kerja sama ekonomi—seperti perdagangan, investasi, dan pembentukan lembaga seperti New Development Bank—semangatnya untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih seimbang tidak jauh berbeda dari apa yang Soekarno bayangkan.
Namun, ada perbedaan konteks yang signifikan. Soekarno berbicara dalam iklim Perang Dingin, di mana pertarungan ideologi antara kapitalisme dan komunisme mendominasi wacana global. NEFO-nya lebih merupakan seruan politis dan ideologis yang menekankan emansipasi pasca-kolonial dan identitas kolektif dunia ketiga.
Sementara itu, BRICS muncul dalam era globalisasi, di mana kekuatan ekonomi dan pasar menjadi bahasa utama perubahan. Rusia dan China, misalnya, membawa dimensi geopolitik yang lebih kompleks dibandingkan visi Soekarno yang lebih idealis.
Philip Bowring menegaskan bahwa meskipun bentuknya berbeda, inti dari gagasan Soekarno—bahwa negara-negara berkembang bisa bersatu untuk mengubah keseimbangan kekuatan dunia—terbukti relevan dalam BRICS.
Ketika Soekarno mendorong Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, ia meletakkan fondasi bagi solidaritas global yang kemudian bergema dalam inisiatif seperti BRICS.
Bandung menjadi tonggak sejarah yang memperlihatkan bagaimana negara-negara non-Barat bisa memiliki suara bersama, sebuah semangat yang kini tercermin dalam pertemuan-pertemuan puncak BRICS.
Lebih jauh lagi, jika Soekarno hidup hari ini, ia mungkin akan melihat BRICS sebagai manifestasi parsial dari mimpinya, meski dengan catatan. Ia mungkin akan mengkritik fokusnya yang terlalu ekonomi dan kurang pada dimensi budaya atau ideologi yang ia anggap penting. Namun, ia pasti akan mengapresiasi bagaimana negara-negara seperti India dan China, yang pernah ia ajak bersolidaritas, kini menjadi raksasa ekonomi yang disegani.
BRICS bukan sekadar ciptaan Jim O’Neill. Ia adalah evolusi dari sebuah ide yang jauh lebih tua, yang pertama kali bergema dalam pidato-pidato berapi-api Soekarno.
Seperti yang disiratkan Bowring, sejarah BRICS tidak dimulai di ruang rapat Goldman Sachs, tetapi di panggung dunia ketiga yang dibangun oleh para pemimpin seperti Soekarno—panggung yang menolak status quo dan membayangkan dunia di mana kekuatan baru benar-benar muncul.