SurabayaPostNews, – Krisis ekonomi 1998 bukan sekadar fenomena keuangan, melainkan hasil dari korupsi sistemik yang telah mengakar selama pemerintahan Orde Baru. Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh elite penguasa dan kroni bisnisnya menciptakan sistem ekonomi yang rapuh. Penyalahgunaan bank swasta, utang luar negeri yang tidak terkelola, serta penyimpangan dana publik menjadi faktor utama yang memperburuk dampak krisis tersebut.
KKN: Ciri Khas Ekonomi Orde Baru
Era Soeharto ditandai dengan ekonomi yang dikendalikan oleh segelintir keluarga dan pengusaha kroni. Konsep KKN bukan sekadar penyimpangan individu, melainkan sistem yang terorganisasi.
Di bawah pemerintahan Soeharto, ekonomi dikuasai oleh segelintir aktor utama, termasuk keluarga Soeharto sendiri. Tommy Soeharto menguasai Humpuss Group dan menikmati insentif pajak untuk proyek mobil nasional Timor.
Bambang Trihatmodjo melalui Bimantara Group mendominasi sektor energi, media, dan properti, sementara Tutut Soeharto mendapat keuntungan dari proyek tol dan telekomunikasi.
Selain itu, konglomerat seperti Liem Sioe Liong (Salim Group) menguasai industri makanan, semen, dan perbankan, sementara Bob Hasan memonopoli sektor kehutanan. Dominasi mereka menutup peluang bagi kompetisi yang sehat, menciptakan distorsi pasar yang melemahkan perekonomian Indonesia.
Bank dan Utang Swasta: Bom Waktu yang Meledak
Liberalisasi ekonomi pada 1990-an membuat bank-bank swasta, banyak di antaranya milik kroni, meminjam besar-besaran dalam dolar AS dengan suku bunga rendah. Namun, pinjaman ini tidak dilindungi dari risiko nilai tukar (unhedged), sehingga ketika krisis melanda, utang dalam dolar melonjak drastis akibat anjloknya nilai rupiah.
Menurut data Bank Dunia (1999), utang swasta jangka pendek Indonesia pada 1997 mencapai USD33 miliar, sementara cadangan devisa hanya USD19 miliar. Bank seperti BCA (milik Salim Group), Bank Duta (terkait Yayasan Soeharto), dan Bank Modern (milik Tommy Soeharto) menggunakan dana pinjaman ini untuk ekspansi bisnis spekulatif seperti properti dan saham, bukan investasi produktif.
Ketika nilai tukar rupiah anjlok dari Rp2.500/USD pada Juli 1997 menjadi Rp15.000/USD pada Januari 1998, perusahaan dan bank kroni yang memiliki utang dalam dolar tidak mampu membayarnya. Gelombang kebangkrutan pun terjadi, menyebabkan kehancuran sistem perbankan nasional.
BLBI: Skandal Penyelamatan Bank yang Jadi Ladang Korupsi
Untuk menyelamatkan perbankan dari kebangkrutan total, pemerintah menggelontorkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp144,5 triliun kepada 48 bank bermasalah. Namun, investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2000 mengungkapkan bahwa 95% dari dana tersebut diselewengkan oleh pemilik bank dan tidak dikembalikan ke negara.
Kasus paling mencolok adalah Sjamsul Nursalim, pemilik Bank BDNI, yang menerima Rp29 triliun namun melarikan diri ke luar negeri. Tommy Soeharto juga diduga terlibat dalam penyalahgunaan dana BLBI untuk menyelamatkan bisnisnya yang kolaps. Akibatnya, utang publik melonjak dan rakyat harus menanggung beban pajak serta inflasi yang meroket.
Pakto 1988: Kebijakan yang Dimanfaatkan untuk Kepentingan Kroni
Salah satu kebijakan yang membuka jalan bagi maraknya bank kroni adalah Paket Oktober (Pakto) 1988, yang mempermudah pendirian bank swasta dengan modal awal hanya Rp10 miliar. Akibatnya, jumlah bank di Indonesia melonjak dari 111 bank pada 1988 menjadi 240 bank pada 1993.
Sebagian besar bank ini tidak beroperasi sebagai institusi keuangan yang sehat, melainkan sebagai alat pencucian uang, mesin pinjaman bagi kroni, dan spekulan di pasar saham serta properti.
Bank-bank ini gagal menjalankan fungsi intermediasi yang benar. Alih-alih menyalurkan kredit untuk sektor produktif, mereka justru meminjam dolar AS dalam jumlah besar untuk investasi spekulatif tanpa perlindungan nilai tukar. Ketika krisis melanda, mereka ambruk, menyebabkan krisis kepercayaan yang semakin memperburuk perekonomian nasional.
Dampak Sosial dan Politik
Ketika krisis ekonomi mencapai puncaknya pada 1998, ketimpangan yang dihasilkan oleh sistem KKN memicu kemarahan publik. Kerusuhan besar terjadi di berbagai kota, puncaknya adalah kerusuhan Mei 1998 yang menyebabkan jatuhnya Soeharto dari kekuasaan.
Menurut data BPS, inflasi melonjak hingga 77%, sementara lebih dari 20 juta orang kehilangan pekerjaan akibat kebangkrutan perusahaan dan kolapsnya sektor keuangan. Kepercayaan terhadap sistem perbankan dan pemerintah runtuh, memicu eksodus modal besar-besaran dari Indonesia.
Krisis ekonomi 1998 bukan sekadar dampak dari faktor eksternal seperti krisis Asia, tetapi juga akibat dari korupsi sistemik yang telah lama menggerogoti fondasi ekonomi nasional.
- KKN menciptakan ekonomi yang tidak sehat, di mana hanya kroni yang menikmati keuntungan sementara rakyat menanggung beban.
- Utang swasta yang tidak dikelola dengan baik menjadi pemicu finansial utama yang memperparah dampak krisis nilai tukar.
- Penyimpangan dana publik, terutama melalui BLBI, semakin memperlemah ketahanan fiskal negara, membuat pemerintah tidak siap menghadapi krisis.
Kasus ini merupakan dampak bahaya korupsi sistemik dan pentingnya tata kelola ekonomi yang transparan dan berkeadilan. Reformasi yang dilakukan pasca-1998 berupaya memperbaiki sistem ini, tetapi tantangan korupsi di sektor keuangan dan lainnya mesin tetap menggerogoti stabilitas.
— Surabaya Post News