Surabaya – Krisis ekonomi 1998 bukan sekadar dampak dari gejolak finansial Asia, tetapi juga hasil dari kebijakan ekonomi yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Praktik tersebut merusak sistem perbankan, menyebabkan utang luar negeri tak terkendali, dan akhirnya menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis. Kini, muncul kekhawatiran bahwa skema Danantara yang baru dibentuk memiliki kemiripan dengan pola-pola sistemik Orde Baru yang menyebabkan kehancuran ekonomi di masa lalu.
Krisis 1998: Korupsi Sistemik yang Menghancurkan Ekonomi
Di era Orde Baru, sektor keuangan didominasi oleh kelompok elite yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan. Perbankan dan proyek strategis tidak dikelola berdasarkan prinsip profesionalisme dan meritokrasi, melainkan dikendalikan oleh segelintir keluarga dan kroni.
Salah satu kebijakan fatal yang memicu krisis adalah Pakto 1988, yang memperbolehkan pendirian bank swasta dengan modal kecil tanpa regulasi ketat. Akibatnya, banyak bank dikuasai oleh konglomerat yang dekat dengan pemerintah, seperti Salim Group, Humpuss Group, dan Bimantara Group. Mereka memanfaatkan bank tersebut untuk mendapatkan pinjaman dalam dolar AS dengan bunga rendah tanpa perlindungan nilai tukar (unhedged loans).
Ketika nilai tukar rupiah anjlok dari Rp2.500 per USD menjadi Rp15.000 per USD dalam waktu singkat, utang dalam dolar melonjak drastis. Perusahaan dan bank yang sebelumnya menikmati akses eksklusif ke kredit murah tiba-tiba mengalami gagal bayar. Pemerintah terpaksa menyelamatkan mereka melalui skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp144,5 triliun, yang sebagian besar justru diselewengkan oleh para pemilik bank.
Krisis ini berujung pada kehancuran ekonomi rakyat.
Kemiripan Skema Danantara dengan Pola Orde Baru
Danantara Indonesia, dana kekayaan negara (sovereign wealth fund), digadang-gadang sebagai instrumen investasi jangka panjang yang bertujuan mempercepat pembangunan ekonomi. Namun, struktur kepemimpinannya menimbulkan kekhawatiran karena banyak pos penting ditempati oleh tokoh-tokoh dengan koneksi politik kuat.
1. Keterlibatan Figur Politik dalam Kebijakan Ekonomi
Sama seperti era Orde Baru, di mana kebijakan ekonomi dikendalikan oleh kroni pemerintah, Danantara juga memiliki kepemimpinan yang diisi oleh individu dengan koneksi politik:
- Erick Thohir, Menteri BUMN, menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas.
- Rosan Roeslani, mantan Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi, ditunjuk sebagai CEO.
- Pandu Sjahrir, keponakan Luhut Binsar Pandjaitan, menjadi Ketua Holding Investasi.
Ketika individu dengan hubungan politik kuat menduduki posisi strategis, muncul risiko bahwa keputusan investasi lebih didasarkan pada kepentingan politik daripada pertimbangan bisnis yang objektif.
2. Risiko Konflik Kepentingan dan Penyalahgunaan Aset Publik
Dalam krisis 1998, bank-bank milik kroni Orde Baru menggunakan dana publik untuk kepentingan pribadi dan spekulasi tanpa akuntabilitas. Skema BLBI, yang seharusnya menyelamatkan sistem perbankan, justru dijadikan ladang korupsi.
Dalam konteks Danantara, kekhawatiran serupa muncul:
- Tidak adanya transparansi penuh dalam pengelolaan aset negara.
- Potensi konflik kepentingan dalam keputusan investasi, mengingat banyaknya figur politik di dalamnya.
- Kemungkinan penempatan dana dalam proyek-proyek yang menguntungkan kelompok tertentu
3. Absennya Profesionalisme dan Meritokrasi dalam Pengambilan Keputusan
Salah satu penyebab utama krisis 1998 adalah rendahnya kompetensi individu yang mengelola sektor keuangan. Jabatan diberikan berdasarkan kedekatan politik, dengan keahlian yang di branding. Akibatnya, ketika terjadi guncangan ekonomi, mereka tidak mampu mengatasinya secara profesional.
Apakah Indonesia Mengulang Kesalahan yang Sama?
Sejarah telah menunjukkan bahwa ekonomi yang dikelola tanpa transparansi, profesionalisme, dan meritokrasi akan berakhir dengan kehancuran. Krisis 1998 menjadi bukti bahwa ketika elite politik dan bisnis mengendalikan aset negara tanpa mekanisme kontrol yang kuat, maka rakyat yang akan menjadi korban dan menanggung akibatnya.
Jika Danantara ditujukan untuk instrumen investasi yang benar-benar bermanfaat, pemerintah wajib meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan Sebenarnya benarnya bukan hanya klaim omon-omon . Laporan keuangan dan kebijakan investasi harus dapat diakses publik secara terbuka. Dan pastinya, Menghindari skema penyelamatan terselubung bagi kepentingan kroni.
Dana ini harus difokuskan untuk proyek yang benar-benar memberikan dampak ekonomi nyata, bukan sekadar melayani kepentingan kelompok tertentu.
Jika tidak, Indonesia mungkin sedang mengulang kesalahan Orde Baru—membangun ekonomi berbasis koneksi politik alih-alih kompetensi, yang pada akhirnya bisa membawa negara ini ke dalam krisis yang serupa dengan 1998.
— Surabaya Post News