Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa perbankan di Indonesia memiliki ketahanan modal yang kuat, dengan rasio permodalan atau Capital Adequacy Ratio (CAR) mencapai 26,69%. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan rasio CAR tertinggi di kawasan, bahkan melampaui Malaysia dan Singapura.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa CAR perbankan di Brunei Darussalam berada di 21,7%, sementara Thailand mencatatkan CAR sebesar 20,5%. “Indikator likuiditas berada di atas threshold dengan solvabilitas industri jasa keuangan terpantau solid,” ujar Mahendra dalam keterangannya, Selasa (11/2).
Ketahanan Modal yang Kuat, Apa Sisi Negatifnya?
Meskipun tingginya CAR menunjukkan stabilitas perbankan, kondisi ini juga menimbulkan beberapa potensi dampak negatif, terutama bagi perekonomian nasional:
1. Kurangnya Penyaluran Kredit
Dengan CAR yang tinggi, bank cenderung menumpuk modal daripada menyalurkan kredit. Akibatnya, sektor usaha—terutama UMKM—dapat mengalami kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan, yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi.
2. Perputaran Uang Melambat
Jika dana lebih banyak tersimpan di bank daripada disalurkan ke masyarakat dan dunia usaha, likuiditas bisa terjebak dalam sistem keuangan. Hal ini memperlambat pertumbuhan sektor riil dan konsumsi domestik.
3. Indikasi Risiko Ekonomi atau Regulasi yang Ketat
CAR yang tinggi juga bisa menjadi tanda bahwa bank lebih memilih menahan modalnya karena adanya ketidakpastian ekonomi atau regulasi yang terlalu ketat. Jika kepercayaan terhadap prospek ekonomi rendah, perbankan cenderung lebih defensif dalam memberikan kredit.
4. Mengurangi Profitabilitas Perbankan
Bank mendapatkan keuntungan dari margin bunga antara kredit yang disalurkan dan dana yang dihimpun. Jika CAR tinggi tetapi penyaluran kredit rendah, maka profitabilitas bank bisa terhambat karena aset tidak dimanfaatkan secara optimal.
Keseimbangan Stabilitas dan Pertumbuhan
Dalam kondisi ekonomi yang terus berkembang, penting bagi perbankan untuk menyeimbangkan antara menjaga ketahanan modal dan tetap agresif dalam menyalurkan kredit. OJK dan pemerintah diharapkan dapat memberikan kebijakan yang mendukung pertumbuhan kredit tanpa mengorbankan stabilitas sistem keuangan.
Meskipun perbankan Indonesia berada dalam kondisi yang solid, tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan uang yang beredar tetap produktif dalam mendukung investasi dan konsumsi nasional.
(Surabaya Post News)