Konsep Berdikari Soekarno

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

SurabayaPostNews Konsep “Berdikari” Soekarno merujuk pada gagasan “Berdiri di Atas Kaki Sendiri” yang diperkenalkan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno, sebagai bagian dari visinya untuk membangun kemandirian bangsa Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi.
 
Istilah “Berdikari” sendiri merupakan akronim yang diciptakan Soekarno, yang secara harfiah menggambarkan semangat untuk tidak bergantung pada pihak asing, baik itu negara lain maupun kekuatan kapitalis asing, dalam upaya mencapai kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
 
Dalam pidato-pidatonya, khususnya yang terkenal seperti “Tahun Vivere Pericoloso” (Tavip) pada 17 Agustus 1964 dan “Tjapailah Bintang-Bintang di Langit” pada 1965, Soekarno menegaskan bahwa Berdikari adalah salah satu pilar dari konsep Trisakti, yakni Berdaulat dalam politik, dalam artian Indonesia harus memiliki kedaulatan penuh tanpa campur tangan asing.
 
Berdikari dalam ekonomi – Indonesia harus mandiri secara ekonomi, mengandalkan sumber daya dan tenaga sendiri. Dan Berkepribadian dalam kebudayaan. Dimana Indonesia harus mempertahankan identitas budaya nasionalnya.
 
Fokus utama Berdikari adalah kemandirian ekonomi. Soekarno percaya bahwa Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah dan rakyatnya yang rajin, memiliki segala potensi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang dan pangan tanpa bergantung pada impor atau bantuan asing. Ia menolak ketergantungan pada kekuatan imperialis atau neokolonialisme, yang menurutnya hanya akan memperpanjang eksploitasi terhadap rakyat Indonesia.
 
Latar Belakang dan Sejarah
Konsep Berdikari muncul di tengah situasi politik dan ekonomi Indonesia pada awal 1960-an.
 
Setelah kemerdekaan, Indonesia masih bergulat dengan warisan kolonial, di mana perekonomian didominasi oleh perusahaan asing dan struktur yang tidak menguntungkan rakyat.
 
Soekarno melihat bahwa ketergantungan pada modal dan bantuan asing, seperti yang ditawarkan oleh negara-negara Barat, sering kali datang dengan syarat yang merugikan kedaulatan nasional. Hal ini tercermin dalam sikapnya yang tegas, misalnya ketika ia menyatakan “Go to hell with your aid!” kepada negara-negara Barat yang menawarkan bantuan dengan agenda terselubung.
 
Pada 1965, Soekarno memperkuat gagasan ini dengan menyerukan kemandirian ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri secara maksimal. Ia ingin mengakhiri situasi “ayam mati di lumbung padi,” di mana kekayaan alam Indonesia tidak dinikmati oleh rakyatnya sendiri, melainkan dikuasai oleh pihak asing atau elit tertentu seperti tuan tanah dan tengkulak.
 
Berdikari diterapkan melalui kebijakan seperti nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (misalnya pada 1957-1958), pengembangan industri substitusi impor, dan pembatasan ketergantungan pada barang luar.
 
Program ini juga didukung oleh Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada 1963 yang bertujuan mengatasi krisis ekonomi dengan mengandalkan produksi dalam negeri. Namun, implementasi Berdikari menghadapi banyak rintangan, seperti, Defisit anggaran akibat operasi militer (Trikora dan Dwikora), Korupsi di dalam negeri, Blokade ekonomi oleh negara-negara Barat yang menentang kebijakan anti-nekolim Soekarno dan Ketidakstabilan politik yang memuncak pada 1965-1966, hingga akhirnya berujung pada pergantian kekuasaan.
 
Meski demikian, semangat
Berdikari tetap menjadi inspirasi bagi banyak kalangan hingga kini, sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi asing dan upaya membangun kemandirian nasional.
 
Berdikari ala Soekarno bukan sekadar konsep ekonomi, tetapi juga sikap mental dan jiwa revolusioner. Ia menekankan bahwa bangsa Indonesia harus memiliki kepercayaan diri, menggali potensi sendiri, dan menolak penjajahan dalam segala bentuk—termasuk yang terselubung seperti neokolonialisme.
 
Dalam konteks modern, ide ini sering diinterpretasikan sebagai panggilan untuk mengembangkan ekonomi berbasis kedaulatan rakyat, ketahanan nasional, dan keadilan sosial.*

Get real time updates directly on you device, subscribe now.