Menolak Pemimpin Sekuler

Penulis: Ifrahul Halimatul Rasyidah

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

QS. At-Taubah: 23 sering kali dikaitkan dengan pernyataan politik yang kerap terjadi menjelang masa pemilu. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin berkuasa. Seringkali kita mendengar istilah berikut, cinta dunia (hub al-dunya) atau aku suka/cinta kamu (uhibbuka/i) dan istilah lain yang terkait dengan cinta.

Kata “cinta” dalam konteks ini dimaknai dengan mengutamakan atas kekufuran. Nah, bagaimana sih penafsiran al-Qur’an dalam QS. At-Taubah: 23? Dan bagaimana kata cinta jika dikorelasikan dengan kepemimpinan serta fenomena yang terjadi menjelas masa pemilu? Mari simak materi berikut ini.

Fenomena Mengutamakan Kekufuran dalam Kepemimpinan

Pesta demokrasi yang akan digelar beberapa bulan yang akan datang, namun suhu politik terasa sudah memanas. Dukung mendukung calon pemimpin kian semakin marak. Berbagai deklarasai politik berbondong-bondong untuk menyampaikan argumentasi demi mendukung calon pemimpin pilihan.

Obral janji sana sini tak pernah jadi kenyataan, tetapi masih ada saja yang tertipu. Terlebih di tengah berbagai permasalahan yang semakin luas seperti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), kriminalitas, serta berbagai krisis yang melanda.

Dalam Fiqh yang dikenal dengan istilah “adil” adalah kebalikan dari fasiq. Orang yang fasiq adalah orang yang gemar melakukan perbuatan maksiat. Orang yang seperti itu tidak pantas untuk dijadikan seorang pemimpin jika lebih mencintai kekufuran daripada islam.

Pemimpin yang seperti ini yang membahayakan rakyat, mereka mengambil kebijakan politik yang menyengsarakan, bukan menyejahterakan. Berkenaan dengan larangan tersebut banyak dijumpai dalam al-Qur’an diantaranya firman Allah Swt surah At-Taubah: 23.

Tafsir Tentang Cinta dalam QS. At-Taubah: 23

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِدُوْۤا اَبَاۤءَكُمْ وَاِخْوَانِكُمْ اَوْلِيَاۤءَ اِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَ اْلِايْمَانِ ۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاُولۤئِكَ هُمُ الظَّلِمُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jangan jadikan bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu sebagai wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran daripada keimanan dan barangsiapa diantara kamu menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”

Dalam Tafsir Al-Misbah pakar bahasa membedakan antara kata إستحبّdan أحبّ. Kata أحبّ menunjukkan adanya cinta atau kesukaan terhadap sesuatu tanpa desakan sedangkan إستحبّ mengandung adanya dorongan pemaksaan untuk melakukannya.

Memilih dan mengutamakannya atas iman bukanlah sesuatu yang sejalan dengan naluri manusia sehingga bila ada yang mengutamakannya dan menyukainya, maka itu berarti ada pemaksaan dalam dirinya.

Ayat ini turun menyangkut kasus sekelompok kaum muslimin yang mengurungkan niatnya untuk berhijrah karena adanya desakan dari pihak keluarga. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun menyangkut sembilan orang yang tadinya telah memeluk agama islam kemudian murtad dan kembali ke Mekkah.

Kaum muslimin dilarang mendekati dan berteman dengan mereka apalagi menyampaikan informasi yang sifatnya harus dirahasiakan.

Dalam ayat ini ditegaskan, kaum Mukmin dilarang mengangkat bapak atau saudara mereka sebagai wali. Larangan tersebut berlaku apabila orang dekat mereka itu lebih memilih kekufuran.

Korelasi Kata Cinta Dikaitkan Dengan Kepemimpinan

Dalam konteks diatas kata istahabbu mengandung makna adanya cinta terhadap sesuatu adanya dorongan pemaksaan. Makna cinta yang dimaksudkan ialah mereka lebih mengutamakan kekufuran daripada keimanan.

Telah dijelaskan bahwa Allah tidak suka pada orang-orang kafir yang suka menyebarluaskan rahasia-rahasia orang mukmin dan janganlah kamu bertukar pikiran dengan mereka jika mereka lebih mengutamakan kekafiran.

Ayat ini diturunkan sebagai dorongan untuk berhijrah dan meninggalkan negeri kafir. Barangsiapa yang menjadikan bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu sebagai wali meski masih ada hubungan kekerabatan, maka mereka adalah orang-orang yang dzalim kepada Allah karena telah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Ketika memilih seorang pemimpin, sementara kita tahu bahwa sejak awal dia lebih menolak syariah dan lebih memilih ideologi kufur, dan setelah menjadi pemimpin atas dukungan kita kemudian diketahui pemimpin tersebut menerapkan sistem kufur, maka kita pun akan dimintai pertanggungjawaban.

Sangatlah adil jika para pemilihnya juga dimintai pertanggungjawaban. Sebab seseorang tidak akan menjadi pemimpin jika tidak dipilih rakyatnya.

Telah dijelaskan mengenai kekufuran dalam kepemimpinan, oleh karena itu janganlah menjadikan mereka yang kufur tersebut sebagai wali atau pemimpin. Dan barang siapa yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.

Penulis adalah Mahasiswa

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

Your email address will not be published.