Peristiwa Dipicu pada 2 Februari 2001 dimana Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur dari kursi kepresidenan.
Disini titik awal upaya Pelemahan Gus Dur secara politik, lebih pantasnya kudeta politik. 20 Juli-2001, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli.
Kemudian 21 Juli Gus Dur presiden sekaligus Panglima Tertinggi Angkatan Perang Umumkan Negara dalam Keadaan Darurat untuk menyikapi tensi politik. Namun hal itu tidak didukung oleh petinggi TNI/Polri Panglima TNI Laksamana Widodo A.S, dan Kapolri S. Bimantoro.
Gus Dur mencium adanya subordinasi politik dan mengancam bakal mengeluarkan Dekrit.
Ketegangan politik membuat Gus Dur membentuk tim 7 yang diketuai SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang pada waktu itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan termasuk salah satu anggotanya adalah Rizal Ramli (RR).
Tim 7 dibentuk sebagai upaya memulihkan keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum.
Karena faktor kesehatan, Gus Dur menyerahkan wewenang kepada Megawati.
Tim 7 mendatangi kediaman Megawati pada 29 Mei 2001 untuk menanyakan soal tawaran konstitusional dari Gus Dur. Megawati diberikan waktu hingga pukul 12 WIB untuk memberikan jawaban.
Tim 7 ini pada akhirnya melobi Megawati (Wakil Presiden) untuk mengurangi kewenangan Gus Dur.
Yudhoyono berjanji, Tim Tujuh yang diketuainya bakal menentang jika Presiden Abdurahman Wahid bersikeras mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR/MPR. Dan pada 23 Juli ini Gus Dur mengeluarkan Dekrit yang diterjemahkan menjadi “Maklumat Presiden Republik Indonesia 23 Juli 2001”
Secara bersamaan, Amien Rais melantik Megawati sebagai presiden menggantikan Gus Dur.
Petinggi militer menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk unjuk kekuatan.(Barton 2002a, hlm. 363).
Disaat yang sama Ribuan Simpatisan Gus Dur mulai bergerak mengepung Istana Negara, para simpatisan berupaya mempertahankan kursi kepresidenan Gus Dur.
Awalnya Gus Dur mendukung upaya para simpatisan, Hingga pada waktu tertentu, Gus Dur mendengar kabar adanya pergerakan massa dari Jawa Timur yang hendak ke Jakarta.
Mereka dikenal sebagai Pasukan Berani Mati (PBM), Loyalis yang siap mempertaruhkan nyawa. Gus Dur memahami betul potensi dari massa ini, karena mayoritas merupakan jawara, bahkan terdapat pasukan inti dari Pagar Nusa yang tidak pernah menunjukkan eksistensinya secara publik akhirnya turun gunung.
Yang mencolok adalah Banser Kobra bentukan Nur Ahmad Syaifudin, Sidoarjo yang beranggotakan hanya sekitar 150 orang. Mereka adalah salah satu kelompok yang berhasil lolos masuk ke Jakarta dan sempat bentrok dengan Pam Swakarsa, Para militer bentukan Wiranto & Kivlan Zein, yang diperkirakan mempunyai anggota 30 ribu orang.
Dalam 2 kali bentrok Banser Kobra selalu berhasil memukul mundur Militer swasta tersebut.
Pam Swakarsa dikerahkan untuk mengamankan pelantikan Mega Wati.
Situasi makin panas Gus Dur memutuskan menghalau massa dari Jawa Timur. Memperingatkan mereka untuk balik pulang sambil banyak bershalawat. Gus Dur menyatakan “tidak ada satupun jabatan yang perlu untuk dipertahankan,” Apalagi ditukar dengan nyawa.
“Saya memaafkan semuanya tapi tidak akan meLupakan” Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sewaktu diwawancarai Kick Andy.@ (junaedi)
Penulis adalah Jurnalis