Penolakan Neoliberalisme: Jalan Baru Ekonomi Prabowo?

Oleh: Redaksi

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Surabaya – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam perayaan Harlah ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Convention Center menjadi sinyal penting arah kebijakan ekonomi Indonesia ke depan. Dengan tegas, Prabowo menyatakan penolakannya terhadap mazhab ekonomi neoliberalisme. Alasannya? Karena kekayaan yang dikonsentrasikan di tangan segelintir elite tak kunjung menetes ke bawah.

Dalam analoginya yang tajam dan menyentil, Prabowo menyatakan, “Kalau harus menunggu kekayaan menetes dari atas ke bawah, bisa sampai 200 tahun. Mati kita semua.”

Ucapan ini bukan sekadar retorika. Ia menyentuh inti kegagalan neoliberalisme: asumsi bahwa pasar bebas tanpa campur tangan negara akan otomatis menciptakan keadilan sosial. Nyatanya, kesenjangan justru menganga. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang tampak positif, jutaan rakyat tetap hidup dalam kekurangan. Rumah tak layak, stunting, kelaparan, hingga pengangguran struktural menjadi wajah buram pembangunan.

Jalan Buntu untuk Negara Berkembang

Neoliberalisme mengedepankan deregulasi, privatisasi, dan pemangkasan peran negara. Namun, untuk negara berkembang seperti Indonesia, pendekatan ini kerap berujung pada penetrasi modal asing yang tak terkendali, ketergantungan utang, dan hilangnya kedaulatan ekonomi. Kekayaan nasional bisa berpindah ke tangan segelintir konglomerat lokal atau investor asing.

Dalam 20 tahun terakhir, Negara telah banyak membuka diri pada liberalisasi ekonomi. Namun, siapa yang paling diuntungkan? Apakah petani kecil, buruh, nelayan, atau pelaku UMKM mendapat porsi yang adil? Atau justru para pemilik modal besar yang bermain dalam sektor infrastruktur, properti, dan pertambangan?

Data distribusi kepemilikan aset menunjukkan ketimpangan yang ekstrem. Laporan Oxfam bahkan menyebut bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Ini bukan sekadar angka, tetapi alarm sosial dan ekonomi yang mendesak tindakan korektif.

Penolakan terhadap neoliberalisme tentu bukan berarti menolak pertumbuhan, investasi, atau kerja sama global. Tetapi perlu ada koreksi paradigma: negara harus aktif menjadi wasit dan pelindung kepentingan rakyat.

Presiden Prabowo bisa mendorong lahirnya ekonomi berdaulat berbasis keadilan sosial. Negara hadir tidak sekadar sebagai regulator pasif, melainkan fasilitator dan aktor dalam pembangunan. Redistribusi aset, proteksi terhadap sektor pangan, penguatan BUMN strategis, dukungan sistemik terhadap UMKM, serta pembenahan pajak untuk menekan ketimpangan harus menjadi prioritas.

Pernyataan Prabowo membuka harapan, namun juga menuntut konsistensi. Apakah penolakan terhadap neoliberalisme akan diikuti dengan reformasi kebijakan fiskal, industri, dan moneter, Akankah pemerintah berani mengatur ulang peta kekuatan ekonomi agar lebih berpihak pada rakyat?

Kita berharap ini bukan hanya retorika, tapi tindakan. Karena rakyat tak bisa lagi menunggu hingga 200 tahun. Seperti kata Prabowo, “Mati kita semua.”


Catatan: Artikel ini adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi pemerintah atau lembaga tertentu.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.