Perlawanan Tak Berujung, Anarki Melawan Kapitalisme

Oleh: Sarkum Serbet

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Kapitalisme lahir dari darah dan api, memaksa manusia untuk menyerahkan hidup mereka demi keuntungan segelintir elite. Dari pabrik-pabrik yang mengepulkan asap di Inggris abad ke-19 hingga kantor-kantor steril di pencakar langit New York dan Singapura, sistem ini berdiri di atas eksploitasi.

Tetapi, di setiap sudut sejarah, selalu ada mereka yang menolak tunduk. Mereka yang percaya bahwa hidup bukan sekadar bekerja untuk memperkaya para pemilik modal. Mereka yang mengangkat panji anarki sebagai simbol perlawanan.

Di Prancis, tahun 1871, Paris terbakar oleh api pemberontakan. Setelah kekalahan Perancis dalam perang melawan Prusia, pemerintah melarikan diri, meninggalkan rakyat kelaparan.

Tetapi alih-alih menyerah, kaum buruh, pekerja, dan revolusioner mengambil alih kota. Mereka mendirikan Commune de Paris, eksperimen pertama dalam sejarah modern di mana negara dibubarkan dan digantikan oleh sistem yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan sosial.

Komune ini bukan sekadar pemberontakan, tetapi mimpi yang menjadi nyata, perumahan disita dan dibagikan kepada yang membutuhkan, pabrik dikelola oleh buruh, dan para pemilik modal yang melarikan diri tak bisa lagi menjarah tenaga kerja mereka. Namun, impian itu hanya bertahan dua bulan. Pemerintah Prancis yang didukung oleh borjuasi internasional menyerbu Paris dan membantai puluhan ribu warga dalam apa yang disebut La Semaine Sanglante—Pekan Berdarah.

Tapi ide yang mereka lahirkan tidak mati. Komune Paris menjadi simbol bahwa rakyat bisa hidup tanpa negara, tanpa kapitalisme, dan tanpa para tiran.

Lima puluh tahun kemudian, semangat yang sama membara di Spanyol. Saat Jenderal Franco dan fasis melancarkan kudeta terhadap pemerintahan republik, bukan tentara atau politisi yang menahan mereka, melainkan buruh, petani, dan anarkis dari Confederación Nacional del Trabajo (CNT) dan Federación Anarquista Ibérica (FAI).

Di Barcelona, mereka tidak hanya berperang melawan fasis, tetapi juga melawan kapitalisme itu sendiri.

Buruh mengambil alih pabrik, petani membangun kolektif tanpa tuan tanah, dan uang mulai kehilangan maknanya. Untuk pertama kalinya, sistem yang sepenuhnya bebas dari eksploitasi kapitalisme diterapkan dalam skala luas.

Namun, perlawanan ini memiliki musuh di segala sisi. Kaum kapitalis Eropa mendukung Franco, kaum Stalinisme Soviet berkhianat dengan menindas anarkis, dan akhirnya revolusi dihancurkan.

Tetapi meskipun Barcelona jatuh, revolusi Spanyol tetap menjadi contoh bahwa masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara bukan sekadar mimpi. Itu pernah menjadi kenyataan.

Tahun 1994, saat kapitalisme global semakin menggila dengan perjanjian perdagangan bebas (NAFTA), sekelompok petani dan pribumi di Chiapas, Meksiko, bangkit melawan. Mereka menamakan diri mereka Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN).

Zapatista menolak negara dan kapitalisme dengan cara mereka sendiri, bukan dengan merebut kekuasaan, tetapi dengan menciptakan sistem alternatif.

Mereka membangun sekolah dan rumah sakit sendiri, membentuk dewan komunitas, dan menolak uang sebagai alat kontrol. Mereka tidak butuh bank, tidak butuh pemerintah, dan tidak butuh investor asing.

Kapitalisme global menyerang mereka dengan pasukan dan propaganda, tetapi Zapatista bertahan. Mereka tidak mencari kemenangan dengan cara konvensional, tetapi dengan menanam benih pemberontakan di seluruh dunia.

Yunani Medan Pertempuran Baru

Di Athena, Yunani, tahun 2008, seorang polisi menembak mati seorang remaja berusia 15 tahun bernama Alexandros Grigoropoulos. Ini bukan sekadar tindakan brutal polisi—ini adalah percikan api yang membakar kemarahan rakyat terhadap kapitalisme dan negara.

Selama berminggu-minggu, Yunani dilanda pemberontakan. Bank dibakar, kantor polisi diserang, dan jalanan menjadi medan pertempuran. Namun, yang menarik adalah bagaimana para anarkis mengorganisir kehidupan di tengah kekacauan. Di lingkungan Exarchia, orang-orang mulai membangun komunitas mandiri, dengan dapur kolektif, klinik gratis, dan ruang diskusi terbuka.

Kapitalisme menanamkan doktrin bahwa tanpa negara dan uang, manusia akan saling membunuh. Tapi Exarchia membuktikan sebaliknya—tanpa kapitalisme, solidaritas dan kebebasan justru berkembang.

Dalam semua kisah ini, ada satu benang merah yang sama: Kapitalisme bisa bertahan bukan karena kuat, tetapi karena ia berhasil membuat kita percaya bahwa tidak ada alternatif lain.

Namun, dari Paris hingga Barcelona, dari Chiapas hingga Athena, berkali-kali sejarah membuktikan bahwa manusia bisa hidup tanpa sistem yang mengeksploitasi.

Dan yang paling ditakuti oleh para kapitalis bukanlah sekadar protes di jalanan, tetapi saat orang-orang mulai membangun kehidupan mereka sendiri di luar kontrol kapitalisme.

Mereka bisa membakar Paris, menghancurkan Barcelona, dan mengirim tentara ke Chiapas, tetapi mereka tidak bisa memadamkan api yang telah dinyalakan oleh para kaum yang membangun kekuatan kolektif di seluruh dunia.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.