Regulasi Bank Emas: Pegadaian dengan Status Ganda, Bank atau Pegadaian?

Jika aspek legalitas dan transparansi tidak segera diperjelas, maka ada potensi bahwa layanan ini justru menjadi beban bagi masyarakat

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

SurabayaPostNews — Pegadaian kini memiliki status ganda yang semakin rancu: di satu sisi tetap berfungsi sebagai lembaga pegadaian, tetapi di sisi lain menjalankan layanan keuangan layaknya bank.

Terlebih lagi, wacana pendirian Bank Emas oleh pemerintah semakin menambah kebingungan, terutama terkait legalitas dan transparansi operasionalnya. Salah satu kekhawatiran utama adalah apakah regulasi yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendukung bank emas bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan yang berlaku di Indonesia. 

Kewenangan Penghimpunan Dana dalam UU Perbankan

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hanya lembaga perbankan yang memiliki izin dari Bank Indonesia yang dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Pasal 16 dalam UU ini menyatakan:

“Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.”

Dari pasal ini, terlihat bahwa secara hukum, penghimpunan dana yang dilakukan oleh lembaga non-bank bisa dianggap sebagai pelanggaran jika tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Dalam konteks ini, jika Pegadaian atau Bank Emas menghimpun dana dalam bentuk tabungan emas tanpa mekanisme yang sesuai dengan UU Perbankan, maka hal ini berpotensi bertentangan dengan regulasi yang berlaku.

Regulasi OJK dan Potensi Konflik dengan UU Perbankan

OJK telah mengeluarkan beberapa peraturan yang memungkinkan lembaga non-bank, seperti Pegadaian, untuk menyediakan layanan tabungan emas. Beberapa regulasi yang relevan antara lain:

  • Peraturan OJK Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian, yang memberikan izin kepada Pegadaian untuk menjalankan layanan tabungan emas.
  • Peraturan OJK Nomor 17 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Bulion, yang memungkinkan lembaga jasa keuangan untuk menyelenggarakan deposito dan perdagangan emas.

Meskipun OJK memiliki wewenang dalam mengawasi dan mengatur sektor jasa keuangan, peraturan yang mereka keluarkan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, dalam hal ini UU Perbankan.

Jika layanan tabungan emas di Pegadaian atau Bank Emas menggunakan skema yang menyerupai penghimpunan dana tanpa izin bank sentral, maka ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap UU Perbankan.

Konversi Fiat ke Angka Gram

Sistem tabungan emas ini bekerja dengan cara menukar uang fiat menjadi angka kepemilikan emas dalam gram, tetapi tanpa ada jaminan bahwa emas fisik benar-benar tersedia di pegadaian.

Buktinya, nasabah harus mengeluarkan tambahan biaya untuk cetak emas bila nasabah hendak menarik tabungan emas. Hal ini menunjukkan bahwa pihak pegadaian tidak memiliki cadangan emas fisik karena baru mencetak setalah ada permintaan withdrawl

Sistemnya serupa dengan fractional reserve banking, di mana hanya sebagian kecil dari total klaim emas yang benar-benar tersedia.

Potensi Penyalahgunaan dan Risiko bagi Masyarakat

Selain aspek legalitas, ada beberapa risiko yang muncul dari konsep tabungan emas ini:

  1. Ketidakjelasan Cadangan Emas (Proof of Reserve)
    • Tidak seperti bursa kripto yang sering melakukan audit cadangan (Proof of Reserve), tabungan emas di Pegadaian belum memiliki standar transparansi yang jelas.
    • Nasabah hanya melihat angka dalam rekening mereka, tanpa jaminan bahwa emas fisik benar-benar tersedia dalam jumlah yang sesuai dengan simpanan mereka.
  2. Model Fractional Reserve Banking
    • Jika Bank Emas menggunakan sistem cadangan fraksional seperti bank konvensional, maka mereka hanya menyimpan sebagian kecil emas dari total simpanan dan menggunakan sisanya untuk investasi.
    • Ini bisa menyebabkan risiko sistemik jika terjadi rush atau penarikan emas dalam jumlah besar.
  3. Pajak dan Biaya Tambahan
    • Nasabah tabungan emas dikenakan pajak serta biaya cetak saat ingin menarik emas fisik mereka.
    • Proses pencairan emas juga memakan waktu hingga beberapa minggu, yang menunjukkan kemungkinan adanya manajemen likuiditas yang tidak efisien.

Selain itu, kurangnya transparansi terkait cadangan emas dan risiko penggunaan model fractional reserve banking dapat menjadi ancaman bagi stabilitas keuangan masyarakat. Oleh karena itu, wajib bagi Bank Emas atau Pegadaian melakukan beberapa langkah jika tidak ingin dikatakan sebagai scam

  1. Audit Proof of Reserve – Lembaga yang menawarkan tabungan emas harus secara rutin diaudit dan membuktikan bahwa emas fisik tersedia sesuai dengan jumlah simpanan nasabah.
  2. Penyesuaian Regulasi – Pemerintah perlu menyesuaikan regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih antara kebijakan OJK dan UU Perbankan.
  3. Perlindungan Konsumen – Regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan bahwa nasabah tidak dirugikan oleh mekanisme yang tidak transparan.

Jika aspek legalitas dan transparansi tidak segera diperjelas, maka ada potensi bahwa layanan ini justru menjadi beban bagi masyarakat daripada menjadi solusi keuangan yang aman dan menguntungkan.@*

Get real time updates directly on you device, subscribe now.