Teror di Tanah Injil: Ketika Kelompok Bersenjata Menyasar Anak dan Perempuan

Oleh Redaksi

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Di tengah hening hutan pegunungan dan kabut yang turun di tanah yang sering disebut “Tanah Injil”, dentuman senjata masih terdengar. Bukan hanya aparat keamanan yang menjadi sasaran, tetapi juga warga sipil tak bersenjata—termasuk perempuan dan anak-anak.

Ironi ini terjadi dalam perjuangan bersenjata yang mengatasnamakan pembebasan dan keadilan.

Kelompok yang menamakan diri mereka sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) telah sejak lama mengklaim diri sebagai pejuang kemerdekaan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, rekam jejak kekerasan mereka menunjukkan wajah lain: teror terhadap rakyat sipil.

Aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah faksi bersenjata TPNPB telah menewaskan bukan hanya aparat, tetapi juga para guru, pendeta, tenaga medis, dan anak-anak sekolah.

Banyak dari mereka dibunuh, disandera, bahkan dipaksa mengakui sebagai mata-mata hanya karena berstatus “pendatang” atau tidak mendukung perjuangan mereka.

Dalam Insiden Nduga 2018, kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya membantai sedikitnya 17 pekerja proyek infrastruktur.

Saksi mata melaporkan bahwa beberapa korban sempat disiksa sebelum dieksekusi. Salah satu dari mereka adalah guru honorer.

Namun kekerasan tak berhenti di situ. Pada tahun-tahun berikutnya, aksi serupa terus terjadi di Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan wilayah lain.

Bahkan sempat beredar video yang menunjukkan anak-anak dan perempuan digantung serta dianiaya, menimbulkan gelombang kemarahan publik nasional.

Dalam beberapa kasus yang dilaporkan oleh aparat, anak-anak dipukul, diintimidasi, dan dijadikan tameng manusia dalam konflik bersenjata.

Perempuan mengalami kekerasan seksual dan penyiksaan, serta disandera untuk tekanan politik terhadap pemerintah.

Sekolah dan puskesmas dibakar, menjadikan akses pendidikan dan layanan kesehatan terputus, terutama bagi anak-anak Papua sendiri.

Tindakan ini menyalahi prinsip paling mendasar dalam hukum konflik bersenjata dan melanggar Konvensi Jenewa, yang melindungi warga sipil, khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak.

Sebagian kelompok bersenjata OPM membungkus perlawanan mereka dengan simbol-simbol religius. Tanah Papua disebut sebagai “Tanah Injil”, dan narasi pembebasan sering dikaitkan dengan kedatangan terang Injil sejak zaman kolonial.

Namun dalam praktiknya, perjuangan ini justru mencemari nilai-nilai Injil, yang sejatinya menjunjung damai dan kasih. Ketika anak-anak dan perempuan digantung di pohon sebagai bentuk intimidasi, tidak ada lagi yang dapat dibenarkan dengan alasan “kemerdekaan”.


Perjuangan Atau Terorisme

Pertanyaan besar muncul di tengah masyarakat: Apakah perjuangan yang menyasar anak-anak masih bisa disebut sebagai gerakan kemerdekaan?

TPNPB telah mengalami pergeseran dari gerakan politik menjadi milisi ekstrem, dengan struktur terpecah dan aksi yang tidak lagi terkendali.

Faksi-faksi liar dalam tubuh OPM sulit dikendalikan, dan menjadikan kekerasan terhadap warga sipil sebagai taktik utama menebar ketakutan.

Negara memiliki kewajiban melindungi seluruh warganya—tanpa kecuali—termasuk masyarakat Papua yang kerap terjebak dalam konflik bersenjata antara militer dan kelompok separatis.

Di tanah yang pernah disebut sebagai tempat “turunnya terang Injil pertama kali di Timur Indonesia”, kekerasan justru merajalela. Anak-anak, yang seharusnya tumbuh dalam kedamaian, malah menjadi korban kebiadaban.

Perjuangan apapun yang menjadikan perempuan dan anak sebagai target—bukanlah perjuangan. Itu adalah teror. Dan tidak ada Injil yang membenarkan kekerasan mengatasnamakan kemerdekaan.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.