Ambisi AI Indonesia: Mimpi Besar Luhut di Tengah Kenyataan Pahit

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Surabaya — Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan rencana pengembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) versi Indonesia yang sebanding dengan DeepSeek atau ChatGPT.

Dalam acara Indonesia Economic Summit di Jakarta Pusat, Selasa (18/2), Luhut menegaskan bahwa Indonesia tidak ingin sekadar menjadi penonton di era disrupsi digital, khususnya dalam perkembangan AI.

“Sekarang kami juga menyiapkan tim untuk mengembangkan DeepSeek versi kita sendiri,” bebernya dengan penuh optimisme.

Masalahnya, kenyataan di lapangan berkata lain. Jika China telah memiliki ekosistem teknologi canggih dan Amerika Serikat membangun OpenAI dengan miliaran dolar, Indonesia masih berkutat dengan sinyal internet yang sering hilang di daerah terpencil dan gaji peneliti yang lebih rendah dibandingkan influencer media sosial.

SDM: Dari Elon Musk hingga Lulusan TikTok University

Amerika Serikat memiliki ilmuwan dan insinyur AI dari universitas terkemuka seperti MIT dan Stanford.

China, dengan dukungan pemerintah, melahirkan talenta AI dari Tsinghua dan Peking University. Sementara itu, di Indonesia, kebanyakan lulusan terbaik lebih tertarik menjadi selebgram atau YouTuber, karena gaji di sektor riset sering kali tidak bisa menyaingi penghasilan dari endorse produk kecantikan.

Teknologi: Superkomputer vs Komputer Warnet

China membangun superkomputer Sunway TaihuLight dan Tianhe-2 dengan miliaran yuan, sementara OpenAI menggunakan ribuan GPU canggih NVIDIA H100.

Indonesia? Data center masih sering mati lampu, dan beberapa institusi penelitian masih mengandalkan komputer bekas dari kantor yang ditinggalkan.

Jika ada dana lebih, kemungkinan besar akan digunakan untuk membeli seragam baru daripada meningkatkan kapasitas pemrosesan data.

Biaya: Triliunan Dolar vs Rapat Anggaran

OpenAI mendapat suntikan dana $10 miliar dari Microsoft, sementara China menggelontorkan miliaran yuan untuk riset AI.

Untuk membangun superkomputer seperti di China, biaya yang dibutuhkan bisa mencapai $500 juta hingga $1 miliar dan itupun memerlukan insinyur teknologi AI yang benar benar memiliki keterampilan.

Sedangkan Indonesia? Masih menunggu pembahasan anggaran yang sering kali berujung pada revisi dan pemotongan, dengan sebagian besar dana lebih mungkin dialihkan ke proyek-proyek lain yang lebih “membumi.”

Di sisi lain, perusahaan teknologi di China seperti Baidu, Tencent, dan Alibaba secara kolektif telah menginvestasikan lebih dari $20 miliar untuk pengembangan AI dan superkomputer mereka.

Bandingkan dengan Indonesia, di mana investasi untuk riset teknologi canggih sering kali kalah prioritas dengan proyek infrastruktur fisik.

Realitas yang Menyedihkan

Luhut menyebut dirinya telah melaporkan rencana tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, Prabowo sempat mempertanyakan peluang keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan teknologi serupa. Dan pertanyaan tersebut sangat masuk akal.

Sebelum bermimpi menyaingi OpenAI dan DeepSeek, mungkin sebaiknya kita mulai dari hal yang lebih realistis dengan membangun infrastruktur digital yang kuat, meningkatkan kualitas pendidikan teknologi, dan memastikan bahwa peneliti AI tidak berakhir menjadi kasir minimarket karena gajinya lebih kecil daripada UMR Jakarta.@

Get real time updates directly on you device, subscribe now.