Surabaya — Keberadaan wartawan dan LSM memiliki peran penting sebagai fungsi kontrol dalam mengawasi jalannya pemerintahan serta berkontribusi dalam mencerdaskan masyarakat. Namun, praktik yang dilakukan oleh oknum yang tidak kompeten dan menyimpang justru dapat mencoreng citra profesi tersebut.
Menurut Handreyanzah, istilah wartawan dan LSM Bodrex yang menjadi perbincangan publik merujuk pada oknum yang kerap melakukan penyimpangan dari tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Mereka sering kali bersikap manipulatif dan tidak memiliki integritas, sehingga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi jurnalis dan LSM.
“Istilah Bodrex ini sudah dikenal sejak tahun 1980-an untuk menggambarkan wartawan gadungan yang tidak memiliki media publikasi resmi,” ujar Biring, sapaan akrab pria asal Madura tersebut.
Sebelumnya, pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Yandri Susanto mengenai wartawan dan LSM Bodrex sempat menuai pro dan kontra. Namun, menurut Handreyanzah, tidak ada yang salah dalam pernyataan tersebut. Justru, hal itu menegaskan bahwa keberadaan wartawan gadungan dapat menghambat transparansi serta pengawasan dana desa.
“Oleh karena itu, Menteri Desa juga meminta aparat kepolisian untuk bertindak tegas terhadap praktik penyimpangan yang dilakukan oleh wartawan dan LSM gadungan,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa praktik pemerasan yang dilakukan oleh wartawan Bodrex terhadap kepala desa dapat mengaburkan fakta, merusak kepercayaan publik, serta menghambat investigasi jurnalistik yang sehat dan berbasis fakta.
Dengan demikian, diperlukan langkah tegas untuk memastikan bahwa fungsi pers dan LSM tetap berjalan sesuai dengan kode etik dan standar profesionalisme, demi menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap peran mereka sebagai pengawas kebijakan publik.