Surabaya – Ada dua jenis perusahaan di negeri ini. Yang pertama, perusahaan yang membangun kota, menyerap tenaga kerja, dan menciptakan infrastruktur yang bahkan pemerintah pun enggan mendanainya. Yang kedua, perusahaan yang menggali perut bumi, mengeruk habis dan menjual hasilnya ke luar negeri, lalu membiarkan tanah itu menganga—dan keuntungannya mengalir ke rekening investor asing.
Dua wajah kapitalisme ini bersembunyi di balik jargon perusahaan nasionalis.
Sebuah kota kecil di sudut timur Pulau Jawa, ada daerah kecil bernama Kediri. Kota ini bukan Jakarta, bukan Surabaya bukan kota besar yang mendapat limpahan dana APBN untuk megaproyek infrastruktur. Tapi Kediri punya sesuatu yang banyak kota lain tidak punyapunya, sebuah perusahaan yang tidak hanya berbisnis, tapi juga membangun kehidupan lokal.
PT Gudang Garam Tbk, raksasa industri rokok yang menyumbang 70% PDRB Kediri, menyerap puluhan ribu tenaga kerja, dan, yang lebih mencengangkan, membangun Bandara Internasional Dhoho dengan uangnya sendiri.
Bayangkan sebuah bandara kelas internasional, sepenuhnya didanai swasta, tanpa sepeser pun dari APBN. Sementara proyek infrastruktur lain menunggu dana negara atau investasi asing, Gudang Garam justru bertindak seperti negara dalam skala kecil—membiayai pembangunan tanpa menggantungkan diri pada investor luar.
Dengan 30.940 karyawan (yang mayoritas warga lokal), Gudang Garam bukan hanya mesin ekonomi, tapi juga jaminan sosial bagi Kediri. Tidak ada tambang, tidak ada eksploitasi sumber daya alam—hanya industri yang berputar dan terus menggerakkan ekonomi kota.
Bandingkan dengan PT TBS Energi Utama Tbk, dulunya dikenal sebagai PT Toba Bara Sejahtra. Perusahaan ini juga raksasa, tapi dalam kinerja yang berbeda. Ia bergerak di sektor tambang batu bara, industri yang telah lama dicap sebagai eksploitasi sumber daya alam tanpa nilai tambah lokal.
PT TBS Energi Utama Tbk hadir sebagai contoh sempurna dari bagaimana sumber daya alam Indonesia menjadi bagian dari “portofolio global.” Sebelum berganti nama menjadi “TBS Energi” demi terlihat ramah lingkungan, perusahaan ini lebih dikenal sebagai eksportir batu bara yang setia mengeruk tanah air.
Pada 2020, TBS Energi mencetak pendapatan US$167,1 juta, dengan batu bara sebagai primadona utama. Dari jumlah ini, US$87,5 juta berasal dari penjualan emas hitam tersebut
TBS Energi pernah disebut-sebut sebagai bagian dari “perusahaan nasionalis”. Tapi bagaimana bisa disebut nasionalis jika sebagian besar sahamnya kini dikuasai oleh investor asing?
Pada 2016, Highland Strategic Holdings dari Singapura mengambil alih kepemilikan perusahaan ini, menjadikannya sebagai alat investasi global ketimbang aset nasional.
Hasil tambang diekspor, keuntungan mengalir ke luar negeri, dan yang tertinggal di tanah air hanya Lubang-lubang bekas tambang.
Dua Wajah Nasionalisme: Mana yang Lebih Membangun Bangsa?
Nasionalisme korporasi bukan sekadar siapa yang berteriak paling keras tentang kecintaan pada negeri. Ini soal siapa yang benar-benar membangun dan siapa yang sekadar mengambil keuntungan.
Gudang Garam, dengan semua kontroversinya sebagai produsen rokok, nyatanya lebih membangun negeri daripada perusahaan tambang yang menjual kepemilikannya ke asing.
Ini pertanyaan besar yang harus kita jawab, Apakah kita ingin ekonomi yang dibangun oleh perusahaan lokal yang peduli pada komunitasnya, atau ekonomi yang dijual ke asing dengan imbalan eksploitasi sumber daya yang tak berkelanjutan?
Sebab, jika kita terus membiarkan modal asing mendikte perekonomian, maka satu-satunya yang tersisa adalah tanah yang digali, hutan yang ditebang, dan keuntungan yang tidak pernah kembali.