“Jancuk” Lidah Yang Menggigit Dari Timur: Narasi Surabaya Yang Tak Pernah Patah

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Di sebuah warung kopi pinggir jalan Kalibokor, asap rokok melayang-layang di antara gelas kopi hitam, suara motor, dan tawa yang tak sungkan. Seorang pria paruh baya tertawa lepas sambil menepuk bahu temannya, lalu kalimat itu meluncur begitu saja:

“Jancuk, koen teko ndhie ae, rek!”

Kasarnya terasa, tapi tak ada yang marah. Justru semua tertawa. Di Surabaya, kata-kata seperti itu bukan makian. Ia adalah salam, sapaan, bahkan pelukan tanpa tangan.


Surabaya tidak butuh basa-basi. Kata pertama yang keluar dari mulut orang-orangnya bukan permisi, tapi “hei, rek!”. Bukan “maaf”, tapi “sepurane, cuk?”. Ada sesuatu yang menggigit dalam gaya tutur mereka—keras, to the point, dan kadang menyakitkan bagi telinga luar. Tapi bagi mereka, itulah cinta: bentuk kasih sayang yang tidak menyamar.

Bahasa Suroboyoan tumbuh dari jalanan—dari pasar Keputran, terminal Bungurasih, hingga koridor kampus di Ngagel. Dari Timur hingga Barat Ia lahir dari pengalaman keras: ekonomi, konflik, perjuangan, dan tawa yang harus dipaksakan meski perut kosong. Bahasa ini bukan sekadar logat, tapi sikap hidup.


“Jancuk” mungkin adalah kata paling kontroversial sekaligus paling mencintai. Ia bisa berarti kemarahan, bisa pula kebahagiaan. Orang Surabaya tahu bagaimana mengucapkannya dengan mata berbinar, bukan melotot. Mereka bisa mengumpat sambil meneteskan air mata karena rindu, dan bisa memaki sahabatnya karena terlalu disayang.

“Koen teko ngendi, cuk?”
(Kamu dari mana aja, bro?)

Kalimat ini, jika ditulis oleh penulis puisi Rusia, mungkin akan berbunyi:
“Di mana saja kamu mengembara, kawan, hingga bayanganmu tak lagi menjejak senja di warung kita?”


Di kota lain, kata adalah alat komunikasi. Di Surabaya, kata adalah senjata. Tapi senjata yang bukan untuk membunuh—melainkan untuk mempertahankan satu hal penting: kejujuran.

Orang Surabaya tidak bisa menyembunyikan apa yang mereka rasakan. Saat marah, mereka bicara. Saat sedih, mereka bicara. Bahkan ketika cinta, mereka pun bicara, meski dengan cara yang kasar.

Dan dalam dunia yang makin digital, makin diplomatis, makin penuh topeng, gaya bahasa Suroboyoan adalah bentuk perlawanan. Ia menolak kehalusan yang palsu. Ia menolak kemunafikan yang sopan. Di sana, ucapan adalah perbuatan.


Hari ini, di tengah gempuran bahasa netral dan politis dari korporasi hingga influencer, bahasa Surabaya tetap hidup. Ia berdenyut di Twitter, di TikTok, di suara anak muda Nginden, Putat, hingga Karangpilang dan Lakar Santri. Mereka mewarisi bukan hanya logat, tapi cara pandang.

Dan mungkin—di zaman yang semua orang takut berkata jujur—kita butuh lebih banyak “rek”, lebih banyak “jancuk”, lebih banyak “cok”. Bukan untuk kasar, tapi agar kita kembali akrab. Agar kita kembali manusia.


Oleh: Junaedi

Get real time updates directly on you device, subscribe now.