Surabaya – Ada yang terasa getir ketika menyimak berita belakangan ini: Dahlan Iskan, sosok yang selama puluhan tahun menjadi wajah dari kejayaan Jawa Pos, kini justru berada di posisi berseberangan dengan media yang pernah ia besarkan.
Bukan sekadar beda pandangan atau pensiun tak terhormat—tapi urusan hukum yang pelik dan terbuka ke publik.
Jawa Pos melalui holdingnya, melaporkan Dahlan ke Polda Jatim atas dugaan pemalsuan dan penggelapan saham PT Dharma Nyata Press—perusahaan penerbit tabloid Nyata.
Tak main-main, laporan ini berujung pada penetapan Dahlan sebagai tersangka meski hal itu telah dibantah oleh tim advokasinya. Namun publik sempat terperangah. Bagi banyak orang, Dahlan adalah legenda, inovator, dan pelopor dalam lanskap media nasional. Tapi kini, namanya muncul dalam dokumen penyidikan Polisi.
Laporan ini bukan perkara remeh. Ia menyangkut soal kepemilikan, aset, dan sejarah panjang bagaimana perusahaan pers di era Orde Baru menyiasati banyak hal agar bisa bertahan hidup. Termasuk dengan praktik nominee—menitipkan aset atas nama personal karena regulasi yang tidak bersahabat. Kini, praktik masa lalu itu menggigit balik.
Pihak Jawa Pos menklaim telah mengakuisisi DNP sebaliknya dikubu dahlan meminta bukti riiel atas klaim tersebut. Pertempuran narasi tak lagi terhindarkan.
Praktik Nominee seperti halnya klaim dari kuasa hukum Jawa Pos, dapat membuka tabir dan menujukkan muslihat serius soal administratif perusahaan media besar nasional.
Namun, publik bertanya-tanya: apakah langkah hukum adalah jalan terbaik? Tidak adakah ruang untuk duduk bersama? Untuk menyelesaikan ini sebagai sebuah keluarga besar media yang memiliki warisan panjang dan sejarah yang tak bisa dibeli oleh generasi baru?
Ini bukan perkara hitam-putih. Tapi sangat manusiawi bila publik merasa kecewa ketika tokoh sekaliber Dahlan Iskan harus menghadapi tudingan hukum dari institusi yang dulu ia bantu bangun. Ini seperti menyaksikan rumah yang pernah terang benderang kini dilanda kebakaran dari dalam.
Lebih dari sekadar konflik bisnis, ini adalah potret rapuhnya transisi generasi dalam perusahaan korporasi media. Ketika semangat perintis tak lagi mendapat tempat, dan hubungan emosional tergantikan oleh akta notaris dan surat kuasa hukum.
Tentu, hukum harus ditegakkan. Tapi bukan berarti kehilangan empati. Dahlan Iskan bisa jadi salah, bisa jadi ia benar. Tapi cara kita memperlakukan masa lalu sangat menentukan bagaimana kita membangun masa depan. Apalagi dalam dunia media, di mana kepercayaan dan integritas adalah aset terbesar.
Mungkin kelak, ketika semua ini selesai, sejarah akan mencatat: bahwa bukan kompetitor, bukan kekuasaan, bukan tekanan dari luar yang meruntuhkan kejayaan sebuah nama besar, melainkan luka dari dalam—yang datang dari orang-orang yang pernah duduk di meja yang sama.@ *
