Kartel Bunga Pinjol: Ketika Utang Menjadi Jerat Kematian

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Kasus dugaan kartel bunga pinjaman online (pinjol) yang saat ini tengah ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bukan sekadar perkara hukum. Ini adalah cerminan dari darurat finansial yang telah merenggut banyak nyawa di Indonesia. Teror pinjol telah menjelma menjadi momok menakutkan yang tak hanya membunuh secara ekonomi, tetapi juga secara harfiah—banyak korban yang memilih bunuh diri karena tidak sanggup menghadapi tekanan.

Saat pertama kali diperkenalkan, pinjaman online disebut-sebut sebagai solusi keuangan bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ke perbankan. Kemudahan akses, pencairan cepat, dan minimnya syarat menjadi daya tarik utama. Namun, di balik semua itu, tersimpan jerat bunga mencekik yang membawa banyak orang ke jurang keputusasaan.

Investigasi KPPU menemukan indikasi bahwa 44 perusahaan pinjol diduga telah mengatur harga bunga secara kolektif. Artinya, tidak ada persaingan harga yang sehat—hanya jebakan sistematis yang memaksa peminjam menerima kondisi yang ditetapkan industri. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bahkan menerbitkan pedoman yang membatasi bunga harian, tetapi ironisnya, justru menciptakan standar bunga yang tetap tinggi dan seragam di seluruh platform.

Pada 2021, batas bunga harian ditetapkan tidak lebih dari 0,4 persen. Jika dihitung dalam setahun, angka ini mencapai lebih dari 140 persen, jauh lebih tinggi dibanding bunga bank atau lembaga keuangan formal lainnya. Suku bunga ini menjadi alat eksploitasi yang dilegalkan, di mana para peminjam terperangkap dalam siklus utang yang tidak berujung.

Teror Pinjol: Dari Teror Digital ke Tragedi Nyata

Bukan hanya bunga tinggi yang menjadi masalah. Tekanan psikologis dari metode penagihan yang brutal telah membuat banyak orang memilih mengakhiri hidupnya. Tidak sedikit kasus di mana peminjam diteror dengan ancaman, penghinaan, hingga penyebaran data pribadi mereka ke keluarga dan teman-teman.

Kasus bunuh diri akibat pinjol bukan lagi insiden yang jarang terjadi. Dari pekerja harian, ibu rumah tangga, hingga mahasiswa—semua bisa menjadi korban. Mereka awalnya hanya meminjam dalam jumlah kecil, tetapi kemudian terlilit utang yang membengkak akibat bunga berlipat. Ketika tak lagi mampu membayar, ancaman datang bertubi-tubi.

Fenomena ini semakin mempertegas bahwa pinjol bukan sekadar layanan keuangan, melainkan instrumen eksploitasi yang menyandera ekonomi masyarakat kecil. Jika tidak segera ditindak tegas, korban akan terus berjatuhan.

Di Mana Peran Pemerintah?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan KPPU kini mulai mengambil langkah intervensi, tetapi ini seharusnya dilakukan sejak lama. Pemerintah terlalu lambat dalam merespons krisis ini, seolah membiarkan praktik predatorik ini berjalan tanpa pengawasan ketat.

Mengatur suku bunga memang penting, tetapi yang lebih mendesak adalah membasmi praktik penagihan yang tidak manusiawi. Jika regulasi hanya berkutat pada batas bunga, sementara teror digital tetap terjadi, maka masalah ini tidak akan pernah selesai.

Indonesia Darurat Pinjol

Dugaan kartel bunga pinjol hanyalah puncak gunung es dari industri yang sudah lama menyandera masyarakat kecil. Ini bukan hanya soal persaingan usaha yang tidak sehat, tetapi juga tentang krisis kemanusiaan yang nyata.

Jika pemerintah tidak segera bertindak tegas—memperketat regulasi, membubarkan kartel, dan memberikan perlindungan bagi korban—maka tragedi akibat pinjol akan terus berlanjut.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.