Ketimpangan Distribusi Likuiditas BI: Bank Swasta Dapat Porsi Terbesar, BPD Tertinggal

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Jakarta — Bank Indonesia (BI) kembali menggelontorkan insentif likuiditas dalam jumlah masif, mencapai Rp 295 triliun, dengan dalih mendorong penyaluran kredit perbankan ke sektor-sektor strategis seperti pertanian, perdagangan, dan manufaktur. Namun, distribusi dana ini menuai kejanggalan, mengingat bank swasta menjadi penerima manfaat terbesar dengan alokasi Rp 131,9 triliun, lebih besar dibandingkan dengan bank milik negara (BUMN) yang hanya menerima Rp 129,2 triliun.

Djketahui bank-bank swasta cenderung memiliki fleksibilitas bisnis yang lebih luas dan profit-oriented, sementara sektor-sektor yang disebutkan BI sebagai prioritas justru membutuhkan pendekatan yang lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi jangka panjang. Disisi lain mekanisme pengawasan BI dinilai belum cukup untuk memastikan bahwa likuiditas ini benar-benar disalurkan sesuai tujuan, sehingga hal ini hanya menjadi instrumen bagi bank-bank swasta untuk memperkuat kepentingan bisnis mereka sendiri.

Selain itu, Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang seharusnya memiliki peran strategis dalam mendukung pembangunan daerah hanya menerima Rp 28,7 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan alokasi ke bank swasta. Demikian pula, kantor cabang bank asing (KCBA) mendapatkan bagian terkecil sebesar Rp 4,9 triliun, menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana prioritas nasional diterjemahkan dalam kebijakan likuiditas ini.

Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) ini terus diperkuat untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Namun, tanpa transparansi yang jelas terkait distribusi dan pemanfaatan dana, serta pengawasan yang ketat atas efektivitas kebijakan ini, publik berhak mempertanyakan apakah langkah BI benar-benar ditujukan untuk kepentingan ekonomi nasional atau hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu di sektor perbankan.

Sejak 1 Januari 2025, KLM diklaim diarahkan untuk mendorong kredit ke sektor pencipta lapangan kerja seperti UMKM, transportasi, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Namun, apakah sektor-sektor ini benar-benar akan merasakan dampak nyata dari insentif ini, atau justru dana tersebut lebih banyak mengalir ke proyek-proyek yang lebih menguntungkan perbankan? Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam menilai efektivitas kebijakan ini agar tidak sekadar menjadi kebijakan populis tanpa dampak nyata bagi masyarakat luas.@*

Get real time updates directly on you device, subscribe now.