Sabdapalon Nayagenggong dan Pembelahan Masyarakat Jawa: Narasi yang Dihidupkan Kembali

Oleh: [ Junaedi ]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Dalam tradisi sejarah dan mitos Jawa, sosok Sabdapalon Nayagenggong sering kali dibayangkan sebagai entitas mitologis yang mendampingi Raja Brawijaya V dari Majapahit. Namun, jika kita melihat lebih dalam, terutama melalui beberapa karya sastra Jawa dari abad ke-19, kita menemukan narasi yang lebih kompleks, bahkan kontroversial, tentang tokoh ini.

Narasi tersebut tidak hanya menghidupkan kembali ingatan kolektif orang Jawa terhadap masa lalu mereka tetapi juga mencerminkan pembelahan yang mendalam dalam masyarakat Jawa terkait identitas agama dan budaya.

Sabdapalon dalam Sastra Jawa Abad ke-19

Sabdapalon, sebagaimana digambarkan dalam naskah-naskah seperti “Babad Kedhiri” (1873), “Suluk Gatholoco” (1870-an), dan “Serat Dharmagandhul” (1879), Tokoh mitos ini  muncul sebagai simbol resistensi terhadap proses Islamisasi yang terjadi di Jawa. Dalam “BabadKedhiri”, misalnya, Islamisasi digambarkan sebagai sesuatu yang asing dan merusak, dengan tokoh-tokoh Wali Songo yang dipandang sebagai “tikus” yang merusak Jawa dari dalam.

Sementara Sabdapalon, dalam naskah ini, mendapat peran sebagai penjaga agama leluhur Jawa, yaitu agama Buda (budi), yang menolak Islam dan meramalkan kembalinya Jawa ke agama leluhur setelah 400 tahun.

Narasi ini kemudian diperkuat dalam “Suluk Gatholoco” dan “Serat Dharmagandhul'”, di mana Islam digambarkan sebagai agama yang tidak sesuai dengan karakter dan iklim Jawa. Bahkan, dalam narasi-narasi ini, terdapat sarkasme yang jelas terhadap Islam, yang dianggap sebagai agama “padang pasir” yang tidak cocok dengan tanah Jawa yang subur.

Gatholoco, dalam Suluk-nya, secara provokatif mengolok-olok Islam dengan menyebut Tuhannya sebagai “Tuhan tanpa budi.”

Kolonialisme dan Produksi Narasi Anti-Islam

Kemunculan narasi anti-Islam ini dalam naskah-naskah Jawa abad ke-19 tidak bisa dilepaskan dari konteks kolonialisme Belanda. Setelah kekalahan Jawa dalam Perang Diponegoro (1825-1830), Belanda berusaha mengukuhkan kekuasaan mereka dengan memecah belah masyarakat Jawa, yang sebelumnya diikat oleh identitas Islam.

Salah satu cara yang digunakan adalah melalui produksi narasi dan budaya, termasuk melalui lembaga seperti Institut Javanologi yang didirikan di Surakarta.

Narasi Sabdapalon yang anti-Islam ini dapat dilihat sebagai bagian dari upaya kolonial untuk menciptakan alternatif identitas Jawa yang tidak berbasis Islam, tetapi pada masa pra-Islam, yaitu Hindu-Budha Majapahit. Dengan demikian, identitas Islam di Jawa didesak ke pinggiran, sementara identitas Jawa-Hindu-Budha dikedepankan sebagai identitas “asli” Jawa yang lebih aman dan jinak di mata kolonial.

Pembelahan Masyarakat Jawa

Pengaruh dari narasi-narasi ini masih terasa hingga hari ini. Sabdapalon dan Nayagenggong telah menjadi simbol bagi sebagian masyarakat Jawa yang merindukan kembali kejayaan masa lalu sebelum Islamisasi.

Narasi ini sering kali dihidupkan kembali dalam konteks perdebatan identitas dan kebudayaan Jawa, di mana sebagian orang merasa bahwa identitas Islam yang dominan saat ini tidak sepenuhnya mewakili ke-Jawa-an yang sebenarnya.

Namun, yang perlu diwaspadai adalah bagaimana narasi-narasi ini, meskipun berakar pada sastra, namun dapat memperkuat pembelahan dalam masyarakat.

Di satu sisi, mereka yang mengidentifikasi diri dengan narasi Sabdapalon mungkin melihat diri mereka sebagai penjaga tradisi dan identitas asli Jawa. Di sisi lain, mereka yang lebih menerima Islam sebagai bagian integral dari identitas Jawa mungkin melihat narasi ini sebagai upaya untuk menghapus sejarah dan budaya yang telah mapan.

Narasi Sabdapalon Nayagenggong menunjukkan betapa kuatnya imajinasi dalam membentuk identitas kolektif suatu masyarakat. Namun, seperti halnya narasi imajinatif lainnya, ia juga dapat digunakan untuk memecah belah, terutama jika disalahgunakan atau dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami narasi ini dalam konteks yang lebih luas dan kritis, serta untuk melihat bagaimana sebuah karya sastra dapat digunakan baik sebagai alat persatuan maupun perpecahan.

Identitas Jawa, seperti identitas lainnya, selalu bersifat dinamis dan kompleks, dan kita perlu terus menerus merenungkan bagaimana kita dapat membangun identitas yang inklusif dan harmonis bagi semua orang.@ *

 

Penulis Adalah Jurnalis

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

Your email address will not be published.