SurabayaPostNews – Kasus korupsi yang melibatkan pengubahan bahan bakar minyak (BBM) beroktan rendah (RON 90) menjadi BBM beroktan lebih tinggi (RON 92) oleh oknum di PT Pertamina Patra Niaga tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merupakan bentuk penipuan terhadap masyarakat luas.
Praktik ini membuat konsumen membayar harga untuk BBM berkualitas tinggi, sementara yang mereka terima sebenarnya adalah BBM dengan kualitas lebih rendah.
Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Mulyanto, menegaskan bahwa tindakan ini merupakan aib besar bagi perusahaan milik negara yang seharusnya memiliki sistem pengawasan ketat. Ia mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya.
“Kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp193,7 triliun, dengan rincian Rp126 triliun berasal dari kompensasi BBM dan Rp21 triliun dari subsidi BBM”.kata.dia.
Angka ini sangat signifikan, terutama jika dibandingkan dengan total subsidi BBM yang dialokasikan dalam APBN 2024 sebesar Rp145,8 triliun.
Mulyanto menekankan bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus pada pemberantasan korupsi semacam ini daripada menghapus subsidi BBM yang justru memberatkan masyarakat.
Selain kerugian finansial, masyarakat juga dirugikan secara langsung karena membayar untuk BBM berkualitas tinggi namun menerima produk yang tidak sesuai standar. Hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan internal di tubuh Pertamina dan menuntut pertanggungjawaban serta penjelasan resmi kepada publik.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun tersebut berasal dari berbagai tindakan melawan hukum, termasuk penolakan pembelian minyak mentah dan produk kilang dalam negeri, pengaturan pemenang tender impor minyak melalui broker, pembayaran produk kilang impor RON 90 dengan harga RON 92, serta mark-up biaya pengapalan minyak mentah dan produk kilang impor.
Kasus ini menambah daftar panjang skandal korupsi di tubuh Pertamina. Sebelumnya, mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, divonis sembilan tahun penjara pada Juni 2024 karena terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan liquefied natural gas (LNG) yang merugikan negara sebesar USD113,84 juta atau sekitar Rp1,77 triliun.
Selain itu, pada tahun 2021, Pertamina menklaim mengalami kerugian lebih dari Rp100 triliun dari penjualan BBM nonsubsidi, khususnya RON 90 dan RON 92, akibat kebijakan harga yang tidak sebanding dengan biaya produksi.
Total kerugian yang dialami Pertamina akibat berbagai kasus korupsi dan kebijakan yang tidak efektif ini mencapai lebih dari Rp295 triliun dalam beberapa tahun terakhir.
Angka ini setara dengan anggaran untuk program sekolah gratis bagi jutaan anak Indonesia, menunjukkan betapa besarnya dampak negatif dari praktik korupsi di tubuh BUMN tersebut.
Menteri BUMN, Erick Thohir, menyatakan akan memanggil petinggi Pertamina terkait kasus korupsi ini dan berencana mengganti bos subholding Pertamina yang terlibat sebagai tersangka.
Kasus-kasus ini menegaskan perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem pengawasan dan manajemen di Pertamina untuk mencegah terulangnya praktik korupsi yang merugikan masyarakat.