Skandal korupsi minyak mentah di PT Pertamina Patra Niaga dengan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun menjadi ujian besar bagi integritas aparat penegak hukum. Skandal ini bukan hanya persoalan penggelapan uang negara, tetapi juga bentuk kebohongan terhadap masyarakat, di mana BBM RON 90 dijual sebagai RON 92 (Pertamax), membuat konsumen membayar lebih untuk kualitas yang lebih rendah.
Masyarakat menuntut agar penyidikan kasus ini dilakukan secara transparan, tanpa tebang pilih, dan bebas dari intervensi pihak-pihak berkepentingan. Kejaksaan Agung serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memastikan bahwa semua pelaku, termasuk pejabat tinggi yang terlibat dalam praktik manipulasi ini, ditindak tegas tanpa pengecualian.
Sikap tegas dan keterbukaan dalam proses hukum sangat penting agar kepercayaan publik terhadap institusi hukum tetap terjaga. Selama ini, banyak kasus korupsi besar yang hanya menjerat aktor-aktor lapangan, sementara tokoh utama yang diduga menjadi dalang sering kali lolos dari jeratan hukum.
Selain itu, aparat penegak hukum perlu membuka informasi mengenai jalannya penyidikan secara berkala. Rakyat berhak mengetahui siapa saja yang terlibat dan bagaimana langkah hukum yang diambil. Jika ada upaya untuk menutup-nutupi atau memperlambat penyidikan, publik akan semakin curiga bahwa ada “beking” kuat di balik kasus ini.
Korupsi di sektor energi berdampak luas bagi masyarakat, terutama dalam harga dan ketersediaan BBM. Jika kasus ini tidak diusut tuntas, maka kejahatan serupa berpotensi berulang dengan modus yang lebih canggih. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam penegakan hukum kasus ini. Masyarakat akan terus mengawal agar hukum tidak tajam ke bawah, tetapi juga berani mengungkap dan menindak aktor-aktor besar di balik skandal ini.