Uji Densitas atau Uji Kelicikan? Skandal BBM Oplosan dan Pengawasan yang Pura-Pura Buta

Oleh : Sikitri

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

SurabayaPostNews — Indonesia kembali dikejutkan oleh skandal BBM oplosan yang merugikan masyarakat, merusak kendaraan, dan mempermalukan Pertamina. Namun, di balik kekacauan ini, ada satu pertanyaan besar yang tak boleh diabaikan: bagaimana mungkin BBM oplosan bisa lolos ke SPBU? Bukankah ada prosedur uji densitas yang katanya memastikan kualitas bahan bakar?

Mungkin kita yang naif. Kita percaya bahwa sistem pengawasan benar-benar bekerja, bahwa setiap tetes BBM yang keluar dari nozzle SPBU sudah melewati uji kualitas ketat. Tapi mari kita pikir ulang: apakah ini murni kelalaian, atau ada permainan yang lebih besar?

Uji Densitas: Formalitas atau Celah Bisnis?

Uji densitas BBM seharusnya menjadi benteng terakhir bagi konsumen. Dalam teori, setiap SPBU wajib melakukan pengecekan rutin untuk memastikan bahwa bahan bakar yang dijual sesuai standar Pertamina.

Tapi realitanya? Kasus BBM oplosan yang terus bermunculan membuktikan bahwa pengawasan ini tidak lebih dari sekadar ritual tahunan yang tak pernah benar-benar serius dijalankan.

Lembaga Pengawas Konsumen disini juga perlu mengambil sikap tegas untuk mengajukan tuntutan jika tidak ingin disebut lembaga mlempem karena tidak melakukan apapun.

Dari kasus ini muncul pertanyaan, Mungkinkah ada permainan di balik meja? Tentu, kita tidak menuduh secara langsung, tapi mari kita pikirkan beberapa skenario, yang pertama adalah soal “Uji Densitas yang Dilakukan oleh Orang yang Sama dengan yang Mengawasi Distribusi”

Seperti cerita klasik serigala yang menjaga kandang ayam. Bagaimana kita bisa yakin bahwa hasil uji ini objektif jika yang mengawasi adalah pihak yang sama yang berkepentingan dalam distribusi?

Celah “Menyulap” BBM Oplosan Menjadi BBM StandarJika ada uang yang berbicara, siapa yang bisa menjamin bahwa uji densitas ini tidak bisa dimanipulasi? Sedikit angka yang diubah, sedikit toleransi yang diberikan, dan! BBM oplosan pun mendapat “sertifikat kelayakan.”

Kemudian yang terakhir adalah soal Frekuensi Pengawasan yang Tidak Konsisten Menurut informasi yang beredar, uji tera (takaran) dilakukan minimal setahun sekali, sementara uji densitas frekuensinya tidak jelas.

Kalau pengawasan ini benar-benar ketat, bagaimana mungkin kasus BBM oplosan bisa terus terjadi tanpa terdeteksi lebih awal?

Pejabat Tak Tersentuh, Rakyat yang Menderita

Di negara lain, pejabat yang gagal menjalankan tugasnya mundur karena malu. Tapi di Indonesia? Pejabat terkiat tetap sibuk mengurusi pencitraan, pejabat tinggi Pertamina tetap nyaman dengan gaji fantastis, sementara rakyat harus menerima kenyataan bahwa bahan bakar yang mereka beli mungkin sudah dioplos sebelum sampai ke kendaraan mereka.

Mereka yang duduk di kursi empuk tak perlu repot-repot berpikir tentang kerusakan mesin akibat BBM kotor. Toh, mereka bisa mengisi mobil dinas dengan bahan bakar khusus. Sementara itu, masyarakat harus menerima kenyataan bahwa kelalaian pengawasan ini bisa berujung pada kerusakan kendaraan yang harus mereka tanggung sendiri.

Kapan Ada Pertanggungjawaban?

Jika kasus ini dibiarkan begitu saja tanpa ada audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan BBM, maka wajar jika masyarakat mulai mencurigai bahwa permainan ini melibatkan lebih dari sekadar “oknum nakal.”

Pejabat yang bertanggung jawab atas uji kualitas BBM harus diperiksa. Bagaimana prosedur mereka selama ini? Berapa kali mereka benar-benar turun ke lapangan? Dan yang paling penting: siapa yang bertanggung jawab ketika pengawasan gagal total?

Jika tak ada tindakan tegas, kita bisa simpulkan bahwa skandal BBM oplosan ini bukan hanya kelalaian. Ini adalah sistemik. Sebuah permainan kotor yang melibatkan banyak pihak, dan selama masyarakat tetap diam, para pemain akan terus berpesta.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.