Dewan Ekonomi Nasional: Strategi Cerdas atau Beban?

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Pada Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto melantik Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), sebuah badan yang dihidupkan kembali untuk memberikan nasihat strategis di bidang ekonomi.
 
Secara konsep, DEN bisa dipahami sebagai “think tank” di bawah Presiden, dirancang untuk mempercepat pengambilan keputusan ekonomi tanpa terjebak dalam birokrasi kementerian yang sering lamban. Luhut, dengan pengalaman panjang sebagai “problem solver” di era Jokowi—dari hilirisasi nikel hingga negosiasi investasi— tampaknya dipilih untuk memastikan visi ekonomi Prabowo berjalan mulus
 
Jika efektif, DEN bisa menjadi alat koordinasi yang hemat waktu dan sumber daya, mendukung efisiensi alih-alih menghambatnya.
 
Namun, apakah fungsi ini tidak bisa dilakukan oleh struktur yang sudah ada?
 
Menteri Keuangan mengelola fiskal, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyinkronkan kebijakan lintas sektoral—lalu apa yang membuat DEN unik? Jika tugasnya hanya memberi nasihat tanpa kewenangan eksekutif, DEN berisiko menjadi “lapisan tambahan” yang redundan.
 
Lebih jauh lagi, di tengah upaya pemangkasan anggaran yang agresif, setiap rupiah harus dijustifikasi. Sayangnya, hingga Maret 2025, belum ada transparansi soal berapa biaya operasional DEN—apakah ia hanya memerlukan dana minim untuk rapat dan staf terbatas, atau justru membentuk struktur baru yang mahal? Tanpa kejelasan ini, publik berhak curiga bahwa DEN lebih merupakan beban ketimbang solusi.
 
Urgensi DEN juga patut dipertanyakan. Jika ekonomi Indonesia sedang dalam krisis mendesak—misalnya pelemahan rupiah atau ancaman resesi—keberadaan badan khusus seperti DEN mungkin bisa dibenarkan. Namun, jika situasinya relatif stabil, mengapa tidak memaksimalkan kementerian yang ada ketimbang membentuk entitas baru? Efisiensi anggaran seharusnya tidak hanya soal pemotongan, tetapi juga prioritas penggunaan sumber daya. Ketika rakyat menanti janji-janji seperti subsidi sosial dan infrastruktur, kehadiran DEN yang “mewah” bisa terasa kontradiktif.
 
Tak bisa dipungkiri, ada aroma politik dalam pengangkatan Luhut. Sebagai figur berpengaruh yang dekat dengan elite kekuasaan, ia bisa jadi diposisikan untuk memperkuat konsolidasi Prabowo, bukan semata demi kebutuhan ekonomi.
 
Jika benar, DEN bukan lagi soal efisiensi, melainkan alat kekuasaan—dan ini memperparah persepsi pemborosan atau bahkan nepotisme.
 
Publik tentu tak ingin efisiensi anggaran hanya jadi slogan, sementara praktiknya malah menambah birokrasi baru. Namun, DEN belum tentu sia-sia. Jika Luhut mampu menjadikannya pusat koordinasi yang tajam—menghasilkan kebijakan cepat dan terukur yang tak bisa dicapai kementerian biasa—maka investasi ini bisa membuahkan hasil.
 
Kuncinya adalah transparansi dan evaluasi ketat: berapa anggarannya, apa output-nya, dan bagaimana dampaknya bagi rakyat? Tanpa itu, DEN hanya akan jadi monumen ambisi, bukan alat kemajuan.
 
Pemerintah harus menjawab kritik ini dengan data dan bukti, bukan sekadar narasi. Di tengah tekanan ekonomi dan harapan rakyat, DEN harus membuktikan bahwa ia bukan pemborosan, melainkan aset sejati. Jika tidak, lebih baik dana itu dialihkan ke kebutuhan yang benar-benar mendesak. Efisiensi sejati bukan soal banyaknya dewan, tapi seberapa efektif roda pemerintahan berputar.

Redaksi surabayaPostNews

Get real time updates directly on you device, subscribe now.