Dirut Eye Clinic Surabaya dr Moestijab Dinyatakan Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Dihukum Bayar 1,2 Miliar

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

SURABAYAPOSTNEWS.COM (Surabaya) – Direktur Utama Surabaya Eye Clinic (Klinik Mata Surabaya) Dokter Moestijab dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas tindakan operasi katarak yang menyebabkan pasiennya Tatok Poerwanto, mengalami kebutaan permanen.

Hal itu diungkap kuasa hukum Tatok Poerwanto, Eduard Rudy Suharto, SH, MH. Menurutnya, Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan dokter Moetijab tertuang dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 181/K/Pdt/2021, tanggal 29 September 2021.

Adapun Majelis hakim yang memeriksa perkara ini antara lain, Prof.Dr Takdir Rahmadi, SH, LL.M (selaku Ketua), Maria Anna Samiyati, SH, MH (anggota) dan Dr. Dwi Sugianto, SH, MH (Anggota).

Putusan kasasi ini menurut Edward, dipastikan menganulir dua putusan sebelumnya, yakni Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY tanggal 16 Juni 2020 dan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 415/Pdt.G/2019/PN Surabaya, tanggal 10 Maret 2020.

Ketua Bidang Hukum dan HAM Nasional DPP Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini menjelaskan, akibat putusan ini dokter Moetijab juga dihukum membayar ganti rugi baik Materiil maupun immateriil sebesar Rp. 1,2 Miliar.

“Dalam amar putusan kasasi ini, dokter Moestijab dan Klinik Mata Surabaya dihukum membayar ganti rugi materiil dan immatreiil sebesar Rp 1.260.689.917 secara tanggung renteng,” terangnya.

Termohon kasasi (dokter Moetijab) menurut Edward menyampaikan ke pihaknya akan membayar ganti rugi, namun nilai ganti rugi itu tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Sehingga Edward lebih memilih langkah hukum selanjutnya.

“Nilai yang sangat jauh dari putusan Mahkamah Agung sehingga kami akan ajukan permohonan eksekusi minggu depan atas harta benda yang dimiliki termohon,” ungkapnya.

Putusan kasasi ini menurut Edward Rudy telah berkekuatan hukum tetap. Pihaknya dalam waktu dekat mengaku bakal mendatangi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya agar melakukan pemeriksaan pelanggaran kode etik terhadap dokter Moestijab.

“Sebagai Induk Organisasi Kedokteran, IDI juga harus punya tanggung jawab untuk melakukan pengawasan. Putusan ini telah inkrcaht dan sudah sepatutnya IDI juga harus menjatuhkan sanksi,” kata dia.

Terpisah, Soemarsono selaku kuasa hukum dokter Moestijab dan PT Surabaya Eye Clinic (Klinik Mata Surabaya) membenarkan pihaknya telah berupaya untuk menjalankan putusan kasasi tersebut, namun angka ganti rugi yang ditawarkan belum di setujui oleh pihak Tatok Poerwanto.

“Memang benar, tapi belum disetujui dan saya masih menunggu, kalau memang tidak ada titik temu, maka kami akan melakukan upaya hukum PK,” katanya.

Saat ditanya apakah upaya PK yang akan ditempuh tidak menghalangi proses eksekusi, Soemarsono menyerahkan semua itu kepada pihak pengadilan.

“Semua yang memutuskan adalah pengadilan, dan kami akan terima apapun putusannya nanti,” pungkasnya.

Malpraktik yang menimpa Tatok ini berawal sewaktu dia mendapat perawatan medis atas penyakit katarak yang dideritanya di Surabaya Eye Clinic pada 28 April 2016.

Dokter yang menangani ialah dokter Moestijab. Usai operasi, Tatok justru merasakan nyeri dimatanya, namun dokter Moestidjab menurut Tatok bahwa kondisi tersebut wajar.

Oleh dokter Moestidjab, Tatok disarankan kembali menjalani operasi di Rumah Sakit Graha Amerta, Surabaya.

Pihak keluarga mulai curiga saat dokter Moestidjab hanya menugaskan asistennya untuk menyampaikan hasil operasi kepada pihak keluarga. Kepada keluarga, asistennya mengatakan bahwa operasi tidak dapat dilanjutkan karena adanya pendarahan dan peralatan kurang canggih.

Hal itu dinilai keluarga sangat kontradiksi karena tidak sesuai dengan yang dilihatnya di Internet, yang mendeklarasikan seolah-olah fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki canggih dan terlengkap di Indonesia Timur.

Kemudian dokter Moestidjab merujuk Tatok agar segera berobat ke Singapura. Ironisnya, ketika sampai di Singapura, lokasi yang disarankan dokter Moestidjab tenyata tidak layak. Keluarga pun akhirnya memutuskan membawa Tatok ke Singapore National Eye Centre Hospital di Singapura.

Hasil keterangan dari Singapore National Eye Centre Hospital itulah yang akhirnya membuat keluarga sadar bahwa Tatok telah menjadi korban malpraktik dokter Moestidjab.

Rekam medis dari Singapore National Eye Centre menjelaskan bahwa kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani lagi karena kesalahan saat operasi pertama yang dilakukan dokter Moestijab.@ (ji/fi)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

Your email address will not be published.