Festival Seni Bunyi ‘Bebunyian’ di Surabaya: Merayakan Keberagaman dan Inovasi

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

SURABAYA (SurabayaPostNews) — Festival ‘Bebunyian’, bakal diadakan di Surabaya, bertujuan untuk mendorong perkembangan keberagaman dan inovasi dalam seni bunyi. Acara ini bermaksud mencerminkan perkembangan dalam sejarah dan budaya Indonesia, khususnya di Jawa Timur.

Berlangsung pada 26 November 2023, di Space K, Surabaya, festival ini mempromosikan seni eksperimental berbasis bunyi, disajikan dengan hangat melalui instalasi seni unik, pertunjukan, dan pengalaman mendalam yang berpusat pada “bebunyian” (suara).

Festival ini juga merupakan bagian dari perayaan 50 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea, dengan menekankan pertukaran budaya dalam bidang seni.

Seni bunyi, yang memudarkan batas antara seni tradisional, musik, dan kebisingan, seringkali menantang batasan-batasan dari bentuk seni itu sendiri. Seniman menciptakan karya menggunakan berbagai elemen penghasil bunyi, seperti perekam suara, instrumen akustik dan elektronik, rekaman lapangan, objek temuan, dan tentu saja, teknologi.

Edisi festival kali ini menampilkan karya lima seniman dari Indonesia dan Korea: Muhammad Zeian, Rizki Lazuardi, Utami Atasia Ishii, WAFT Lab, dan Jin Sangtae. Seniman suara terkenal asal Korea, Sangtae, akan menampilkan repertoar yang menggunakan objek non-musik seperti modifikasi disk drive dan radio.

Eksplorasi Utami Atasia Ishii terhadap warisan budaya Indonesia tercermin dalam karyanya ‘How Do You Taste’ (2021), yang mengelaborasi berbagai aspek sambal, disajikan dalam instalasi audio visual. Sebagai bagian dari festival, Sunday Social Brunch oleh Sages Academy akan menawarkan eksplorasi sensorik hidangan menggunakan sambal dan gochujang.

Video esai ‘Magnetic Syrinx’ karya Rizki Lazuardi menyelidiki rekaman kaset kicau burung dan dampaknya terhadap industri musik Indonesia dari tahun 1980 hingga 1990, mengungkap titik pertemuan antara alam dan komersil dalam industri kicau burung.

Muhammad Zeian, seniman asal Pasuruan, menciptakan synthesizer setinggi lima kaki yang terinspirasi oleh pedagang kaki lima di perkotaan Indonesia. Karyanya ‘Awikworks PKL’ (Penyintesis Kaki Lima) menggabungkan kecintaan seniman terhadap synthesizer sekaligus merujuk pada kecerdikan pedagang kaki lima dalam menempati ruang-ruang perkotaan.

Festival ini juga ditandai dengan sesi round table bersama seniman dan kurator dari kedua negara yang membahas perkembangan dan tren di bidang praktik seni bunyi. Sesi round table bertujuan menjadi platform diskusi untuk mengevaluasi praktik seni bunyi di masing-masing negara.

Disusun oleh Ayos Purwoaji, kurator utama festival ini terinspirasi oleh subkultur ‘horeg,’ yang diartikan sebagai ‘bising’ atau ‘keributan’ dalam bahasa Jawa. Tema kuratorial ‘horrreg’ mencerminkan sifat seni bunyi yang tidak konvensional, berkualitas kuat, dan sesuai untuk lokasi festival di Surabaya, yang berfungsi sebagai titik koneksi unik ke komunitas seni bunyi eksperimental Jawa Timur yang lebih luas.

Selain menjelajahi inovasi dalam seni bunyi, festival ini bertujuan meningkatkan apresiasi terhadap pendengaran, dengan menekankan potensi terapeutik suara. Festival menawarkan ‘Sound Bath,’ memberikan pengalaman auditori yang memulihkan dengan fokus pada gelombang suara yang bertujuan untuk relaksasi dan penyembuhan.

Acara fringe ‘Bebunyian’ mencakup sound walk selama 30 menit, memberikan perjalanan sensorik di mana peserta mengidentifikasi dan belajar merekam soundscape kota. Sound walk ini akan dipimpin oleh aktivis budaya Anitha Silvia (Pertigaan Maps), didampingi oleh seniman Korea, Jin Sangtae.

Sebagai kesimpulan, Festival Seni Bunyi ‘Bebunyian’, diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea, adalah bukti dari peningkatan prominensi seni bunyi, menyoroti ekspresi yang beragam dan inovatif.

Disunting oleh:  SurabayaPostNews

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

Your email address will not be published.