JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan dalam perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Permohonan uji materiil ini diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A, seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS).
MK, dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023, memutuskan untuk mengabulkan sebagian dari permohonan pemohon. Putusan ini diumumkan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan yang digelar di Gedung MK pada Senin, 16 Oktober 2023.
Hasil putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan “berusia paling rendah 40 tahun” dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Oleh karena itu, MK mengubah pasal tersebut menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
MK menjelaskan bahwa pertimbangan untuk menerima sebagian permohonan ini didasari oleh kenyataan bahwa batas usia calon presiden dan wakil presiden tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, MK melihat kewajaran dalam mengubah ketentuan ini.
Hakim MK Manahan MP Sitompul menegaskan bahwa MK, dalam beberapa putusan sebelumnya yang berkaitan dengan kebijakan hukum (legal policy), telah mengambil sikap bahwa legal policy dapat dikesampingkan jika melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, atau menghasilkan ketidakadilan yang tidak dapat diterima.
Manahan juga menekankan bahwa norma yang berkaitan dengan legal policy biasanya tidak diatur secara tegas dalam konstitusi. MK memberikan tafsir ulang terhadap aspek ini dan memutuskan untuk mengesampingkan ketentuan legal policy, seperti yang terjadi dalam perkara batas usia pensiun dan batas usia minimum bagi penyelenggara negara.
Putusan ini diambil oleh MK setelah mempertimbangkan bahwa norma yang diajukan oleh pemohon yang dinilai melanggar salah satu prinsip untuk dapat mengesampingkan atau mengabaikan open legal policy. seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.
Selain itu, perubahan ini tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.